Ketika Dinasti Jokowi Meninggalkan Megawati
Oleh: Hamid Awaludin
(Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia)
TAHUN 2004, untuk kali awal kita menyelenggarakan pemiliham umum presiden/wakil presiden. Saya masih menjadi anggota KPU yang kala itu ditunjuk menjadi pokja kampanye.
Di situ saya mengenal karakter seorang yang bernama Megawati Soekarnoputri, Presiden RI ketika itu.
Beberapa kali saya membunyikan sempritan, pertanda ada hal yang harus tidak dilakukan. Misalnya, tidak melakukan kampanye karena jatahnya sudah habis.
Megawati sangat patuh. Tidak menggunakan jabatannya untuk melarang saya dan KPU meniup sempritan terhadap diri dan partainya.
Ia tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindih demi kemenangan. Ia paham betul bahwa negeri yang dipimpinnya itu, harus diawali dengan disiplin tinggi.
Caranya, patuh pada aturan main. Ia memaklumi bahwa pemimpin itu harus memberi contoh yang baik. Bukan pemimpin berpura-pura disiplin dan taat azas, tetapi penuh intrik yang melecehkan hukum dan akal sehat.
Bukan pemimpin yang lain ucapan, lain kelakuan. Akhlak politik Megawati adalah mumpuni. Bukan tabiat pat gulipat. Ia tidak menggunakan tangan orang lain untuk membungkam. Ia kesatria.
Kini, hari-hari Megawati dijejali dengan persoalan pelik. Betapa tidak, anak dan orangtua anak yang dibesarkannya, bisa dipersepsikan meninggalkan dirinya dalam keadaan terluka parah.
Megawati memberi mereka kehormatan melalui karpet merah yang digelarnya, dan mengorbankan diri, anak dan kader-kadernya sendiri.
Gibran, putra Presiden Jokowi, kini dicalonkan sebagai Wakil Presiden RI dari partai politik lain. Langkah politik yang dilakukan oleh dinasti Presiden Jokowi, yang menurut ukuran manusia normal, sangat bisa menyakitkan hati.
Tentu saja Megawati, anak-anak dan para kadernya, terluka dengan langkah ini. Betapa tidak, Gibran naik menjadi Wali Kota Solo atas dukungan Megawati, dengan cara mengorbankan hasrat dan keinginan kadernya sendiri.
Langkah Gibran ini, berbanding lurus dengan jalan yang ditempuh sang ayah, Jokowi. Megawati bersama partainya, PDI-P mengorbankan kadernya yang lain untuk jalan mulus Jokowi menjadi Wali Kota Solo dua periode.
Belum cukup dengan ini. Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI ke 10 dan 12, membujuk Megawati agar Jokowi diberi peluang dan kepercayaan menjadi Gubernur DKI.
Megawati menyetujui usulan Jusuf Kalla tersebut, kendati harus menempuh jalan berbeda dengan suaminya, karena almarhum Taufik Kiemas mendukung orang lain.
Waktu berjalan. Ambisi kian menaik. Jokowi berhasrat jadi Presiden RI. Megawati mengurungkan niatnya untuk maju dan memberi jalan mulus untuk mewujudkan ambisi Jokowi.
Megawati melepaskan segala ambisi dan hasrat diri, keluarga, dan kader-kadernya yang lain, untuk Jokowi. Ia tidak mengumbar tuntutan karena ia membayangkan orang lain sama dengan dirinya, “tahu diri.”
Megawati tidak mengayun kapak amuk marah. Ia hanya mengelus dada, menahan rasa sakit yang kian mendera badan dan pikirannya. Semua ongkos politik dengan segala tetangkel yang ada, telah ia bayar.
Untuk urusan ini, saya pernah mendengar metafora yang menyentuh batin. Ketika Jokowi maju sebagai calon Wali Kota Solo, gelas berisi seperempat air yang hendak diminum kadernya di Solo, tetapi Jokowi haus tak kepalang, maka air itu batal diminum oleh kader PDI-P, tetapi diberikan ke Jokowi.
Beberapa tahun kemudian, Jokowi haus lagi, ingin menjadi Gubernur DKI. Air minum yang berisi setengah gelas, hendak diminum oleh orang lain, tetapi demi Jokowi, Megawati menyerahkan segelas air tersebut ke dirinya. Bukan ke orang lain.
Kini, gelas berisi penuh air, hendak diminum sendiri oleh Megawati dan ia pun mendekatkan gelas tersebut ke bibirnya, tetapi Jokowi haus lagi, Megawati mengurungkan niat meminum air tersebut. Ia ikhlas menyerahkan lagi segelas air itu kepada Jokowi. No problem.
Air minum yang telah Mega berikan itu, ternyata menjadi pembangkit energi politik tersendiri bagi Jokowi dan keluarganya.
Karena itu, ada yang beranggapan bahwa kehadiran Jokowi sangat menguntungkan PDI-P dan Megawati karena Jokowilah sehingga perolehan suara PDI-P menanjak terus hingga hari ini.
Bila jalan pikiran ini kita ikuti, maka sebenarnya skor antara keluarga Jokowi dengan Megawati, seimbang: satu sama.
Namun, bagaimana kita bisa menjelaskan bahwa sebelum Jokowi memasuki arena Jakarta, perolehan suara PDI-P sejak era reformasi, sudah tidak tergoyahkan. Selalu menduduki peringkat atas.
Lagi pula, urusan budi baik dan keikhlasan itu, sebaiknya tidak dihitung dengan pendekatan matematika. Budi baik dan keikhlasan, ukurannya adalah moral dan etika. Bukan yang lain-lain.
Itulah sebabnya, kita acapkali menemukan bahwa orang yang mempraktikkan: “Air susu dibalas air tuba,” selalu berakhir dengan mengenaskan. Berakhir dengan cara porak poranda, nihil nilai. All are gone. No chance for regaining honor and dignity.
Belum selesai di sini. Menantu Jokowi pun, Boby Nasution, melewati karpet merah untuk menjadi wali kota Medan. Lagi-lagi, kader PDI-P disisihkan demi Bobby Nasution.
Megawati, tentu hanya mengurut dada sekarang. Namun, ia figur politik yang memiliki daya tahan yang luar biasa selama puluhan tahun.
Ia, karena itu, juga memiliki ketabahan dan kesabaran luar biasa. Baginya, dignity jauh lebih penting daripada berkasak kusut, tanpa pertimbangan moral dan etika, untuk kekuasaan.
Setidaknya, Megawati tidak sendirian merasa ditinggalkan. Jusuf Kalla, orang yang dipercaya Megawati menjadi pendamping Jokowi pada periode pertamanya, mungkin juga sudah merasa ditinggalkan.
Abraham Lincoln, idola saya, sangat benar ketika ia mengatakan: Semua orang bisa mengatasi persoalan yang dihadapinya. Namun, jika hendak mengukur kualitas seseorang, berilah ia kekuasaan.
Bagaimana ke depan? Is the game over bagi Megawati? Sama sekali tidak.
Masa pemerintahan Jokowi masih tersisa setahun. Banyak ikhwal yang bisa terjadi selama setahun ke depan.
Pemerintahan Jokowi tidak bakal berjalan efektif tanpa partai jangkar yang menahan ombak agar perahu tak oleng, atau karang dan tenggelam. Partai jangkar Jokowi adalah PDI-P.
Bagaimana partai politik yang mendukung pencalonan Gibran sebagai Wapres RI? Agak pelik untuk mengatakan mereka adalah partai politik yang setia ke Jokowi.
Kesetiaan mereka hanya bersifat temporer belaka, sesuai kepentingan sesaat yang memberi kenikmatan seketika.
Kalau toh mereka setia, hitungan matematika masih berada di bawah jumlah partai yang mendukung Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin.
Saya membayangkan bahwa setahun ke depan, bisa jadi para parpol pendukung Ganjar dan Anies menyatu padu dalam hal menyiasati sisa masa pemerintahan Jokowi tersebut. Ini yang perlu dihitung matang oleh pemerintahan Jokowi. Jangan dianggap remeh.
Perlu kita hitung-hitungan dengan asumsi yang kuat: Sebagian partai pendukung yang berada di barisan pencalonan Gibran, adalah juga partai politik yang terluka.
Dari awal mereka memiliki calon yang lain, bukan Gibran. Mereka hanya memaksakan diri untuk ikut irama gendang politik yang ditabuh oleh tahta dan titah kekuasaan. Bukan karena kemauan politik mereka dan kader-kader mereka. Wallahu alami bissawab.
Dan akhirnya memang, Mas Gibran benar: mari kita serahkan kepada warga. Putusan terhadap akhlak atau tabiat politik, ditentukan di tempat pemugutan suara, oleh rakyat yang berdaulat.
Kedaulatan itu harus dijaga bersama, bukan kedaulatan yang digiring dengan intimidasi kuasa.
(Sumber: Kompas)