BOCORAN PUTUSAN MK
Ini “Bocoran” Putusan Mahkamah Konstitusi soal syarat umur Capres-Cawapres, yang rencananya akan dibacakan pada Senin depan (16/10/2023), pukul 10 WIB.
Banyak yang menanyakan bocoran putusan MK soal syarat umur capres-cawapres kepada saya. Tentu sulit dan tidak boleh mendapatkan informasi dari dalam lingkungan MK, baik dari hakim konstitusi ataupun para pegawai MK. Karena itu, berikut saya sampaikan “bocoran”, dalam tanda kutip, putusan tersebut, yang saya prediksi akan dibacakan pada Senin depan.
Kali ini, dalam kapasitas sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara, saya ingin membuktikan argumentasi bahwa, “tidak mustahil untuk memprediksi putusan Mahkamah Konstitusi” berdasarkan kecenderungan putusan-putusan sebelumnya, dan positioning politik para hakim konstitusi.
Melihat kecenderungan putusan MK atas perkara terkait pemilu dan antikorupsi, khususnya dalam putusan soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK dan UU Ciptaker, yang komposisinya lima berbanding empat, alias 5 : 4 dissenting opinion, maka saya memprediksi putusan syarat umur capres-cawapres juga akan berujung pada angka yang sama, yaitu:
Lima setuju mengabulkan, dan empat menyampaikan pendapat berbeda, alias memberikan dissenting opinion atau menolak permohonan. Saya menduga putusan bisa saja mengabulkan syarat umur menjadi 35 tahun; ATAU syarat umur tetap 40 tahun, namun dibuka kesempatan bagi “yang telah berpengalaman sebagai kepala daerah”.
Sedang komposisi hakimnya yang berbeda pendapat adalah sebagai berikut:
1. Saldi Isra dan Suhartoyo akan tetap berada pada posisi dissenting opinion. Keduanya sudah sejalan sejak lama, termasuk hanya berdua dissenting dalam soal syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold).
2. Wahiddudin Adams akan bersama Saldi dan Suhartoyo pada posisi berbeda pendapat. Memasuki masa pensiun pada Januari tahun depan, menyebabkan Hakim Konstitusi Wahid menjadi nothing to lose, dan karenanya lebih konsisten menjatuhkan putusan secara merdeka (independen).
3. Posisi ke empat yang dissenting/berbeda adalah antara Enny Nurbaningsih atau Arief Hidayat. Kalau Enny yang berbeda pendapat, berarti komposisi hakim yang dissenting opinion, akan sama dengan putusan masa jabatan KPK dan UU Ciptaker.
Kemungkinan lain, saya memprediksi Arief Hidayat bisa masuk komposisi berbeda pendapat, lebih karena posisi politiknya, yang merupakan kompetitor dalam pemilihan Ketua MK yang baru lalu berhadapan dengan Anwar Usman, serta karena afiliasi organisasi massanya di GMNI, yang dikenal dekat dengan parpol tertentu.
Skenario yang juga patut dicermati, karena putusan ini sangat penting menyangkut kontestasi Pilpres 2024, ada kemungkinan pula putusan akan sama kuat alias imbang (4:4, empat berbanding empat) antara yang mengabulkan dan yang menolak permohonan. Maka, yang menjadi penentu putusan menurut Pasal 45 ayat (8) UU MK adalah dimana posisi Ketua MK Anwar Usman, Ipar Presiden Jokowi. Saya memprediksi bahwa Anwar Usman ada pada posisi mengabulkan permohonan, alias memberikan kesempatan kepada Gibran Rakabuming Raka menjadi kontestan (paslon) pada Pilpres 2024.
Namanya juga “bocoran” alias prediksi, tentu kepastiannya akan terlihat setelah putusan dibacakan. Kita lihat saja, apakah prediksi saya akan tepat. Namun, tanpa dasar teori hukum konstitusi yang rumit, saya hanya ingin membuktikan bahwa tidaklah sulit untuk menduga arah putusan MK, dilihat dari kecenderungan pemikiran dan afiliasi politik para hakimnya, dan tentu saja dinamika politik yang mewarnai suatu permohonanan yang sarat dan kental dengan “political question”, semacam syarat umur capres-cawapres.
Sebelum menutup tulisan ini, izinkan saya berbagi, Senin kemarin (9 Oktober) ada sidang etik advokat di Kongres Advokat Indonesia terkait pengaduan Mahkamah Konstitusi atas postingan saya soal sistem Pemilu Legislatif tertutup atau terbuka beberapa waktu yang lalu. Tidak banyak yang memberitakan sidang etik tersebut, di samping persidangannya yang memang tertutup.
Padahal ini adalah catatan sejarah penting. Pertama kali ada Mahkamah Konstitusi mengadukan seorang advokat ke organisasi profesi. Saya merasa tersanjung sekaligus tertantang untuk membuktikan sama sekali tidak ada pelanggaran kode etik. Sebaliknya, saya berpandangan ada banyak persoalan etika di kelembagaan Mahkamah Konstitusi saat ini.
Untuk membaca jawaban saya “Memperjuangkan Advokat yang Mulia dan Ksatria” atas tuduhan pelanggaran etika tersebut, silakan klik link berikut:
Terlepas soal pengaduan dugaan pelanggaran etika kepada saya tersebut, yang jauh lebih penting dan strategis sebenarnya adalah menjaga etika para hakim konstitusi, khususnya dalam memutuskan berbagai perkara di tahun politik 2023-2024 yang akan datang.
Yang pasti, laporan pengaduan saya ke MK soal dugaan pelanggaran etika Ketua MK Anwar Usman tidak kunjung direspon apalagi diperiksa. Padahal dugaan pelanggaran etika Ketua MK tersebut sangat erat dengan benturan kepentingan, karena tetap memeriksa permohonan pengujian syarat umur capres-cawapres, padahal berkaitan langsung dengan peluang keluarganya menjadi kontestan (paslon) dalam Pilpres 2024, yaitu: Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Jokowi.
Akhirnya, putusan syarat umur capres-cawapres akan menjadi batu ujian kesekian akan kadar kenegarawanan para hakim konstitusi. Apakah para hakim MK berhasil menjalankan amanahnya sebagai the guardian of the constitution, penjaga konstitusi, atau bergeser menjadi the guardian of the family and dynasty. Senin depan sejarah akan mencatatnya.
Melbourne, 10 Oktober 2023
Denny Indrayana