SALAH SATU anak Arjuna alias Janoko alias Permadi – anak ketiga dari lima bersaudara Pandawa yang dikenal sebagai Lelaki Dunia Segala Dunia diberi nama Bambang Wisanggeni. Inilah satu-satunya anak Arjuna yang dilahirkan di Kahyangan Daksinageni domisili Dewa Brahma selaku kakek sang jabang bayi.
Kian jelas, bahwa anak yang luar biasa ini memang tidak dilahirkan di buminya manusia, melainkan di alam dunianya para dewa, di atas sana Kahyangan Jonggring Saloka. Bahkan, dia lahir berwujud sebagai gumpalan api yang menyala. Waktu menjadikan Bambang Wisanggeni menjadi anak yang luar biasa, baik kecerdikan, kepandaian yang melintasi segala disiplin keilmuan maupun daya juangnya sebagai pembela kebenaran, keadilan berbasis kejujuran tiada tara.
Ia dikenal lugas, tinggi spontanitasnya, peka kejiwaan dalam bersimpati dan empatinya terhadap kemanusiaan. Dalam kebuntuan pandangan dan kedunguan para penguasa yang menguasai penduduk yang masih disekap feodalisme, segan mengikuti kemajuan dan bangga akan masa silamnya namun amat menyukai takhayul dan memelihara mithos, maka Bambang Wisnanggeni sering datang mencoba mengurai kebuntuan dengan segala varian di atas itu.
Seakan pembawa pesan kenabian yang sering didistorai oleh sebagian ulama dan zuama yang kadang mengingkari amanat keulamaan: Berpikir, berkata dan bertindak benar.
Nggak usah malu, wahai kaum berilmu yang rupanya hanya dalam bajunya dengan berkejaran “membeli” gelar dan atau julukan demi status nir-peran. Akulah profesor, akulah doktor, akulah …..yang heeeiiiibat. Namun isi kepalanya, ketajaman hatinya ternyata hanya diisi nafsu memuaskan lima lubang dalam tubuhnya. Bukan jiwanya, bukan masa keakhiratan yang abadi dengan reputasi, melainkan keduniaan yang fana dan menggoda.
Banyak satria yang menjaga marwah profesi yang ditekuniya, namun rupanya lebih banyak lagi yang mengingkari etika sebagai pagar profesi demi tuntutan perut dan gagah-gagahan dengan seragamnya.
Pada Wisanggeni ini, hal ikhwal pengkhianatan profesi, pembusukan politisi, kesumpekan para agamawan dan seremonialisasi bin ritualisasi merupakan lawan utamanya. Pernah suatu kali Bambang Wisanggeni yang masih dalam kandungan ibunya yakni Dersanala (istri kesekian kalinya Arjuna / ayah Wisnggeni) binti Dewa Brahma diculik oleh Batari Durga – seorang Dewi yang jahatnya minta ampun – kemudian di buang ke Kawah Candradimuka.
Bukannya lahir prematur dan terhanguskan, tetapi justru dari sanalah kesaktian bertambah memancar ke segala penjuru. Menyilaukan kaum penguasa dan penjilatnya, menggedor keiri-hatiannya para profesor dan memancing para pengekor untuk membunuh karakter Bambang Wisanggeni. ”Dia harus dibunuh, dia harus dibungkam demi tatakrama”, begitu teriakan pembenci Wisanggeni yang dikenal tak bisa bicara datar, bertingkat bahasa dan berbudi gombal dibungkus sutera bahasa nan indah yang merendah-rendah itu.
Kisah akhirnya, entah kenapa Bambang Wisnanggeni yang memang menikah dan tak dikaruniai anak ini, harus dipanggil moksa menghadap sang Pencipta menjelang meletusnya Perang Baratayudha.
Ditulis oleh: Joko Sumpeno
* Diceritakan kembali sekenanya yang pernah juara menulis esai tingkat SLTA se eks Karesidenan Surakarta 1973 dan 1974
* Lulusan SMA Muhammadiyah I Klaten – Jawa Tengah, Akademi Farming, Akademi Postel dan FHUI 1982
*Pernah wartawan Forum Keadilan 1989-1982.
(Sumber: SangPencerah)