Terusir dari Tanah Sendiri
Oleh: Yayan Hidayat
Peneliti di Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN)
Masyarakat adat Pulau Rempang sudah lama tinggal dan mengolah tanah warisan nenek moyang mereka. Fakta ini berbeda dari pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. bahwa lahan yang ditempati penduduk Rempang tidak tergarap. Komentar Mahfud ini muncul setelah pecah kerusuhan yang berhubungan dengan rencana pembangunan Rempang Eco-City, yang akan dibangun oleh PT Makmur Elok Graha, bagian dari Artha Graha Network, yang didirikan pengusaha Tomy Winata.
Dalam artikel "De Battam-Archipel" di De Indische Gids (1882), J.G. Schot, peneliti Belanda, mencatat adanya suku Rempang di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Peneliti Belanda berikutnya, P. Wink, melaporkan kelompok yang disebut "Orang Darat" di pulau itu dalam artikel "Verslag van een bezoek aan de Orang-Darat van Rempang op 4 Februari 1930" dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde deel LXX (1930).
Publikasi-publikasi tersebut merupakan bukti nyata bahwa masyarakat adat Rempang sudah lama menetap dan mengolah wilayahnya. Bila belakangan ini pecah konflik, itu sebenarnya merupakan akumulasi berbagai masalah sejak lama.
Melalui Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1992, pemerintahan Orde Baru memperluas hak penggunaan lahan yang telah diberikan kepada Otorita Batam (BP Batam) hingga ke seluruh daratan Pulau Rempang dan Pulau Galang. Wali Kota Batam melanjutkannya dengan menerbitkan surat edaran yang ditujukan kepada camat se-Kota Batam yang memperkecil kemungkinan bagi masyarakat untuk mendapatkan status hak atas tanahnya. Sejak Indonesia merdeka, negara tidak pernah hadir untuk masyarakat adat di Rempang. Mereka tak kunjung mendapat pengakuan dan pelindungan terhadap hak wilayah adat mereka.
Pemerintah melalui Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) secara arogan memobilisasi aparat bersenjata (TNI, Polri, dan Satpol PP) serta secara paksa mengusir masyarakat di Pulau Rempang dari tanah dan akar budaya mereka. Hal ini merupakan manifestasi dari fenomena military-industrial complex, gagasan klasik Charles Wright Mills dalam Power Elite (1956 ), yakni kolaborasi pemerintah, militer, dan pengusaha dalam mengamankan sumber daya tertentu.
Ada upaya penggiringan opini publik untuk membenarkan kekerasan aparat dalam penggusuran itu sebagai upaya penertiban dan pengosongan lahan dengan menuding masyarakat Rempang bersalah karena tidak memiliki status kepemilikan lahan. Padahal konflik yang terjadi merupakan bentuk dari adanya upaya sistematis untuk mengakomodasi kepentingan sekelompok orang dan mengabaikan kepentingan masyarakat.
Fenomena ini jamak terjadi dalam konflik agraria. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia melaporkan, dalam delapan bulan terakhir, telah terjadi 692 konflik agraria. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat 301 kasus terkait dengan perampasan wilayah adat selama 2019-2023. Dari hampir semua konflik agraria tersebut, selalu ada keterlibatan pemerintah, TNI, Polri, dan korporasi.
Sumber pemicu terjadinya konflik di Rempang adalah persoalan kepemilikan tanah yang selama puluhan tahun tak terselesaikan. Konflik ini diperparah dengan pendekatan pembangunan yang diambil oleh pemerintah yang ingin memindahkan secara paksa tanpa melalui proses musyawarah dengan 16 kampung tua di sana.
Seyogianya pemerintah harus memakai pendekatan free prior and informed consent (FPIC) atau asas persetujuan tanpa paksaan sebelumnya. Pendekatan ini dijalankan melalui musyawarah; pemenuhan hak-hak dasar masyarakat, khususnya dalam menyelesaikan masalah pengakuan dan pelindungan hak masyarakat adat; serta melibatkan masyarakat secara partisipatif dalam proses pembangunan.
Komitmen pemerintah untuk mengakui dan melindungi masyarakat memang masih jauh dari harapan. Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat telah ada di meja Dewan Perwakilan Rakyat, tapi tak kunjung disahkan. Pada 2018, rancangan ini sempat dibahas oleh pemerintah bersama DPR, tapi tak berlanjut. Padahal undang-undang ini diharapkan dapat menyelesaikan berbagai ketidakpastian kepemilikan lahan yang selama ini dianggap menghambat pembangunan. Ketiadaan kehendak politik untuk mengesahkan rancangan ini menunjukkan bahwa situasi ketidakpastian masyarakat adat atas wilayah adatnya memang sengaja dilanggengkan oleh pemerintah.
Salah satu pangkal masalah agraria selama ini adalah adanya "hak menguasai negara" yang disebut dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-Undang Pokok Agraria. Pada dasarnya, prinsip ini menyatakan bahwa negara memiliki hak untuk menguasai tanah-tanah yang padanya tidak melekat hak-hak penguasaan individu. Prinsip ini sudah berlaku sejak zaman penjajahan Belanda dalam bentuk domein verklaring.
Sayangnya, prinsip tersebut ditafsirkan sebatas hak-hak penguasaan yang diakui menurut hukum kolonial, sementara hak-hak penguasaan tanah menurut hukum adat yang lama berlaku di Indonesia diabaikan. Lebih buruk lagi, prinsip ini dipertahankan sampai sekarang dan sering menjadi alasan pemerintah menggusur masyarakat dari tanah yang sudah lama mereka tempati dengan alasan pembangunan, terutama Proyek Strategis Nasional, seperti pembangunan di Pulau Rempang.
Cara berpikir semacam ini sudah harus dihentikan. Hak-hak masyarakat atas tanah serta penghidupannya harus ditegakkan dan negaralah yang wajib memenuhi hal tersebut. Masyarakat Pulau Rempang tidak menolak pembangunan, tapi bagaimana pembangunan itu tidak membuat mereka tersisih dan menjadi pariah di tanah adatnya sendiri.
(Sumber: Koran Tempo, Kamis, 21 September 2023)