Rahmatan lil alamin
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Tidak lama setelah Nabi wafat umat Islam “mengusir” tentara Romawi dan “menduduki” Syria. Di zaman Umar Ibn Khatab kekaisaran Persia “ditaklukkan” dan Palestina “dikuasai”. Pada awal abad ke delapan Spanyol dibawah kerajaan Hispania yang dikuasai oleh orang Kristen Visigoth “ditundukkan” oleh Tariq bin Ziad. Di Mesir Muslim dibawah komando Amr bin al-As “memukul mundur” pasukan Byzantium dan “mengusai” orang-orang Kristen Coptic. Pada abad ke 15 Konstantinople, salah satu bagian dari kekaisaran Romawi “ditaklukkan” panglima muda al-Fatih. Di dunia Melayu umat Islam “mengusir” kepercayaan animism, dinamisme dan agama-agama kultural lainnya.
Istilah-istilah mengusir, menduduki, menaklukkan, menguasai, mendesak dan sebagainya adalah bahasa politik dan bersifat negatif. Tapi apa yang sebenarnya terjadi jauh dari kesan itu.
Sebab ketika Islam masuk Syria orang-orang Kristen disana justru merasa selamat (diselamatkan oleh pasukan Islam) dari penjajahan Romawi dan Yunani. Michael the Elder, Patriach dari Jacobus mengakui “Tuhan telah membangkitkan putera-putera Ismail dari Selatan (maksudnya Muslim) untuk menyelamatkan kita dari Romawi”.
Ketika pasukan Muslim dibawah pimpinan Abu Ubaidah mencapai lembah Jordan, penduduk Kristen setempat menulis surat kepadanya. Isinya “kami lebih bersimpati kepada Anda daripada orang-orang Romawi, meskipun mereka seagama dengan kami… Pemerintah Islam lebih adil daripada pemerintah Byzantium”.
Pada waktu Khalifah Umar memasuki Yerussalem ia menandatangai perjanjian. Diantara isinya: ”…gereja tidak akan dirubah menjadi tempat kediaman, tidak akan dirusak, ….salib-salib atau harta mereka tidak akan diganggu…dan tidak seorangpun diantara mereka akan dianiaya”. Orang Islam tidak pernah konflik dengan umat Kristen. Justru konflik antar sekte di Gereja Holy Sepulchre, atau the Church of the Resurrection didamaikan orang Islam.
Abdul Aziz Marwan Gubernur Mesir memberi izin orang-orang Kristen pegawai istana untuk mendirikan gereja di Halwan. Di Andalus Islam, Kristen dan Yahudi hidup damai bertahun-tahun. Seorang spesialis sastra Iberia di Universitas Yale, Maria Rosa Mencoal dalam karyanya berjudul The Ornament of the World (2003) berterus terang. Ia menulis "Toleransi merupakan aspek melekat pada masyarakat Andalus dan nasib non-Muslim lebih baik daripada dibawah Kristen Eropa”. Tapi berakhirnya kekuasaan Islam di Andalusia, berakhir pula toleransi itu.
Jika fakta-fakta ini dicermati, istilah menguasai, menaklukkan, mengusir dan bahkan menjajah tidak layak untuk dipakai pada Islam.
Yang lebih cocok, sesuai dengan namanya, Islam ‘menyelamatkan’ atau ‘membebaskan’ bangsa-bangsa tertindas.
Maka tidak heran jika Sir Thomas Walker Arnold (sejarawan Inggris) dalam bukunya The Preaching of Islam menyatakan: ”Kemenangan kaum Muslimin berarti kebebasan beragama (bagi non-Muslim), sesuatu yang telah berabad-abad mereka dambakan”. Anehnya Bernard Lewis (sejarawan Yahudi AS) menganggap toleransi dalam Islam tidak ada asal usulnya.
Rahmat Islam yang lain ada dalam keseluruhan ajarannya. Syariatnya menjaga jiwa, keturuan, agama, harta dan akal manusia dari kehancuran. Ritual peribadatannya menyentuh aspek jiwa dan raga, aspek sosial dan individual, aspek spiritual dan material. Prinsip hidupnya seimbang tidak materialistis dan tidak spiritualistis, tidak melulu dunia atau melulu kherat. Sayyid Qutb mensifatinya dengan istilah tawazun. Penghargaannya pada orang kaya dan orang miskin, wanita dan laki-laki sama meski tidak harus memakai teori gender dan diklaim sosialistis atau feministis.
Konsep tuhannya “transenden” artinya jauh dan tak terjangkau. Tidak serupa apapun, karena itu tidak bisa diberhalakan. Tapi juga “immanen”, lebih dekat dari urat nadi kita. Dan yang terpenting Allah dalam Islam bersifat 'Alim (Maha Tahu). Karena itu wahyu yang diturunkanNya sarat dengan perintah berfikir dan mencari ilmu. Dari kitab suci itu pula lahir berbagai disiplin ilmu. Ulum al-Qur’an, Tafsir, Hadith, Fiqih, Kalam, tasawwuf, mawarith, Nahwu dan Sarf lahir dari sebab memahami al-Qur’an.
Inilah rahasianya mengapa umat Islam menjadi rahmat dunia dengan ilmu. Dengan ilmu dan iman khazanah ilmu pengetahuan Yunani, Persia, India, Mesir dan sebagainya dihidupkan. Dari India Muslim menemukan angka nol. Asas bagi matematik dan ilmu computer masa kini. Di Persia Ibn Syatir mengembangkan astronomi yang buku-bukunya menginspirasi Copernicus menemukan teori heliosentrisme. Di Baghdad Ibn Haitham menemukan teori optic, tanpa teori ini camera tidak akan pernah wujud.
Di zaman Umayyah di Spanyol dan Abbasiyah di Baghdad budaya ilmunya sangat tinggi. Di Cordoba saja terdapat 75 perspustakaan. Lebih ramai dari mall di zaman postmodern. Di Baghdad koleksi seorang ulama mencapai 400.000 judul buku. Menjadi ulama lebih bergengsi daripada menjadi pengusaha. Inilah peradaban ilmu.
Tapi ilmu bukan sekedar ilmu, tapi juga menjadi amal alias teknologi. Di Spanyol irigasinya waktu itu tercanggih di dunia. Hasil panennya memberi makanan orang Spanyol yang kelaparan dan tertindas. Tata kotanya tidak ada duanya di Eropa. Menurut Tertius Chandler dalam, Four Thousand Years of Urban Growth: An Historical Census populasi Cordoba waktu itu sekitar 500.000, mengalahkan Konstantinopel. Kemakmurannya mengalahkan penduduk Eropa. Sain dan teknologi yang lahir karena inspirasi al-Qur’an dan kecerdasan jiwa-jiwa yang beriman dan bertawhid. Itulah “misykat” kehidupan.
Tauhid inilah yang digambarkan dalam surah Ibrahim (24-25) sebagai “kalimat tayyibah” (kalimat yang baik), dan peradaban ilmunya sebagai “syajarah tayyibah” (pohon yang baik). Pohon itu memberi makan atau menghidupi orang pada setiap musimnya, dengan izin Tuhannya. Tujuannya satu “agar mereka ingat” nikmat Tuhannya. Tapi begitulah manusia, banyak yang telah memakan buah (baca rahmat) peradaban Islam dan banyak yang tidak ingat. Allah Maha Benar.
(*)