[PORTAL-ISLAM.ID] Pilpres 2024 belum bisa dipastikan akan diikuti dua atau tiga poros. Sampai hari ini, baru koalisi PKB, Nasdem, PKS yang sudah mendeklarasikan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.
Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid mengatakan Pilpres 2024 masih ada kemungkinan diikuti oleh dua poros saja.
Namun, ia melanjutkan, poros yang sudah pasti adalah Koalisi Perubahan yang mengusung pasangan Anies-Muhaimin.
Namun, analis politik Unhas, Prof Sukri Tamma menilai bahwa dua poros sudah sangat sulit. Walapun, jika bicara kemungkinan, tidak ada yang tidak mungkin. Hanya saja, yang menjadi hitung-hitungan sekarang seolah-olah sudah ada tempatnya.
Masing-masing dalam posisi pada tiga poros, sehingga kalau ada yang bayangkan dua poros, maka pertayaannya adalah yang mana akan ke mana dan seperti apa.
Jika melihat kecenderungannya, orang akan bicara tentang poros Jokowi dan non-Jokowi. Poros non-Jokowi jelas, yaitu Anies-Cak Imin, meskipun PKB dilematis karena masih dalam kabinet.
Maka kalau dihitung dua poros berarti yang dimaksud adalah Koalisi Indonesia Maju (KIM) bergabung dengan PDIP. "Kedua ini, bisa saja bergabung, tetapi pertanyaannya apakah semudah itu. Maka tentu tidak. Siapa yang akan menjadi calon presiden?" ujar Sukri.
Sementara PDIP kata Sukri, sudah pagi-pagi sekali mengatakan bahwa partainya adalah pemenang pemilu. Ganjar punya potensi besar maka harus PDIP yang presiden.
Lalu, apakah Prabowo sebagai driver poros KIM mau mengalah. Jawabannya, tidak ada yang tak mungkin, tetapi jika berhitung di atas kertas kata Sukri, sangat sulit.
Analis politik Unhas A Ali Armunanto juga menilai bahwa dua poros mungkin saja, tetapi ada kondisi yang membuatnya susah terwujud. Pertama, jika dilihat pergerakan politik saat ini, sudah terpolarisasi ke tiga poros.
Begitupun dengan kekuatan-kekuatan pelengkap akselerasinya sudah tertarik ke masing-masing kubu tersebut. "Terakhir kita lihat misalnya, Demokrat larinya bergabung ke Prabowo," kata Ali.
Kemudian, PDIP sendiri sudah terlalu percaya diri dengan kekuatannya. Jadi walaupun mereka akhirnya akan bergabung maka sudah akan sulit sekali.
"Karena masing-masing posisinya adalah calon presiden. Kedua mereka punya pendukung yang kuat dan calon wakil yang sangat potensial. Di sisi lain, mereka juga masing-masing punya sumber daya politik yang memadai," ujar Ali.
Analisis politik Unismuh, A Luhur Prianto mengatakan bahwa formasi koalisi Pilpres sudah terbentuk. Tiga poros pasangan calon lebih realistis. Meskipun kata dia, memang di politik selalu ada kemungkinan, tetapi harapan dua poros koalisi itu semakin sulit terwujud.
Namanya tim pemenangan kata dia, tentu mereka punya kalkulasi dan harapan soal kemungkinan 2 atau 3 paslon. Termasuk skenario yang paling menguntungkan paslon yang didukungnya.
"Kalau cuma 2 poros maka polarisasi sosial politik seperti Pilpres 2019 kembali terulang. Persaingan Kubu perubahan vs kubu keberlanjutan akan terus berlanjut dan kembali memanas," katanya.
Analis politik UINAM, Attock Suharto juga mengatakan bahwa memang masih serba memungkinkan terjadi, tetapi ia melihat kemungkinannya tetap pada tiga poros.
Meskipun baik koalisi yang digawangi PDIP maupun koalisi yang motori Gerindra belum menentukan pasangan, menurutnya itu soal waktu saja.
"Jika, kondisi terburuk kedua bakal capres itu (Ganjar dan Prabowo) akan melebur dan membentuk poros koalisi gemuk sehingga akan ada dua poros saja, maka itu dipastikan hitungan politiknya AMIN sangat kuat, sehingga kedua kompetitor itu menghindari tiga poros (dan akhirnya bergabung)," katanya. (fajar)