Perubahan nama hari libur dari Hari Kenaikan Isa al Masih itu hanya sebuah tahap, sebab memang yang agak problematik dari konsep-konsep umat Kristen Indonesia, ia masuk dari bahasa dan kultur Eropa ke dalam masyarakat muslim yang secara bahasa sudah mengalami Islamisasi secara mendalam.
Makanya, konsekuensi dari alkitab yang berbasis terjemahan, karena tidak menyertakan teks asli, adalah pemilihan padanan kata dari bahasa asal, alkitab berbahasa Belanda ke penulisan alkitab dalam bahasa Indonesia.
Pemilihan kenaikan "Yesus Kristus", menurut saya merupakan hasil tawar menawar yang bagus, sebab ini nama untuk hari libur nasional. Jadi ia akan dilafalkan oleh orang dari semua agama, sehingga penyebutan ketuhanan yang sangat spesifik selayaknya dihindari. Sebab usulan awalnya seingat saya Hari Kenaikan "Tuhan Yesus".
Meski sebenarnya, penyebutan Hari Kenaikan Isa al Masih sendiri juga bukan hasil dari tekanan umat Islam, sebab Alkitab berbahasa Indonesia ini memang terus mengalami revisi kebahasaan.
Dulu misalnya, kata kanisah dalam alkitab berbahasa Melayu disebut sebagai Mashid Yahudi, kata Jesus diterjemahkan jadi Isa, Kristus jadi al Masih, bahkan ketika Sadrach membangun gereja ia menyebutnya sebagai Masjid Kristen.
Jadi mari kita dorong agar terjemahan itu terus diperbaiki, termasuk nantinya agar alkitab tak lagi memakai kata "Allah", sebab untuk menerjemahkan kata "God" lebih tepat pakai kata "Tuhan" atau "Ilah" bukan Allah.
Sebab ini adalah bahasa Indonesia. Meski sosoknya sama, di Indonesia Isa itu muslim dan Yesus itu Kristen. Umat Islam Indonesia tak perlu mengganti nama Isa jadi Yesus.
Demikian juga alangkah baiknya kalau alkitab meninggalkan kata Allah dan menggantinya dengan YHWH atau yang lainnya, yang kalau menurut rekan Kristen saya harus dicari nama yang lebih alkitabiah, tidak Tuhan Kristen beraroma Islam.
(Oleh: Arif Wibowo)