Perubahan Iman Politik Cak Imin
Oleh: Arie Putra (Co-founder Total Politik)
Rasanya seperti di antara mimpi dan kenyataan, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar secara mendadak menjadi pendamping bakal calon presiden Anies Baswedan. Padahal masih selang hitungan hari, pelukan hangat pimpinan partai pendukung Prabowo Subianto dipertontonkan. Kini, Cak Imin pun pergi untuk mendampingi Anies Baswedan.
Dari sisi Partai Demokrat yang sudah lama bersama Anies dan Partai Gerindra yang setahun terakhir bergandengan dengan Cak Imin, peristiwa yang terjadi ini merupakan sebuah tragedi. Mereka harus terpisah saat harapan sedang tinggi-tingginya.
Namun dari sisi publik, semua ini adalah sebuah pertunjukan komedik. Ternyata, elit-elit politik Indonesia yang sudah lama bersama-sama itu baru tahu kalau Cak Imin sangat serius ingin menjadi calon wakil presiden.
Manuver Cak Imin untuk menjadi bagian dari pencalonan Anies bukan hanya bentuk dari peralihan haluan politik. Semua ini tampak lebih dari sekedar persoalan dukung-mendukung. Banyak yang tidak sadar iman politik Cak Imin memang sudah berubah.
Banyak elit masih memandang Cak Imin seperti dirinya yang dulu. Keinginan Cak Imin menjadi cawapres diyakini sebagai sebuah strategi politik untuk bernegosiasi. Semakin Cak Imin tampak ingin menjadi cawapres, semakin banyak juga kepentingan PKB yang akan diakomodir.
Namun hari ini sudah berbeda, Cak Imin sudah berubah. PKB benar-benar yakin pencalonan Cak Imin akan memberikan efek ekor jas terhadap partai. Kalau nama Cak Imin tertera di kertas suara, perolehan elektoral PKB juga semakin menjulang. Yang menjadi bakal calon wakil presiden Anies Baswedan adalah Cak Imin ekor jas, bukan lagi Cak Imin yang dulu.
Selain itu di internal PKB sendiri, Cak Imin ingin mengokohkan dirinya. Salah satu cara menjaga kepercayaan pengikutnya adalah keterlibatan langsung dalam pertarungan tertinggi. Langkah politik ini diambil sebagai upaya untuk semakin melepaskan diri dari bayang-bayang Presiden Abdurahman Wahid.
Gus Muhaimin bisa ikut dalam pertarungan Pilpres, sementara Gus Dur pada dua dekade lalu harus terganjal oleh aturan kesehatan. Dalam perjalanan sejarah demokrasi langsung, monumen politik Cak Imin tentu tidak kalah menjulang dibanding yang sudah dibangun oleh Gus Dur.
Barangkali, kita perlu kembali melihat kepada peristiwa tahun lalu, Juni tahun 2022. Putri Gus Dur, Yenny Wahid, melontarkan kritik terhadap peluang Muhaimin Iskandar untuk mencalonkan dalam Pilpres 2024 yang semakin menipis. Yenny berpandangan Gus Imin tidak punya elektabilitas mumpuni, yang akan berdampak pada kemerosotan PKB.
Pertikaian antara anak dan keponakan Gus Dur tersebut tentu lebih dari sekedar persoalan elektabilitas. Pernyataan Yenny tersebut seperti kembali membuka persoalan masa lalu yang masih belum selesai.
Mengambil pilihan untuk mendampingi Anies Baswedan menjadi sebuah jawaban dari Cak Imin. Lepas dari hasil Pilpres 2024 nanti, Yenny yang dianggap sebagai representasi Gus Dur tidak lagi dapat mencap Cak Imin sebagai Ketua Umum PKB yang gagal. Paling tidak, Cak Imin sudah berani menempuh sesuatu yang melebihi ekspektasi.
Iman Cak Imin jelang 2024 sangat berbeda dengan keyakinananya dalam tiga perhelatan pilpres terakhir. Sejak Pilpres 2009, semua kandidat yang didukung oleh Cak Imin selalu melenggang ke Istana.
Cak Imin selalu menjadi ekor naga. Meskipun tidak ikut bertarung dalam Pilpres secara langsung, dia selalu duduk di kursi perayaan kemenangan. Selama ini, Cak Imin dianggap sebagai kepingan terakhir dalam puzzle kemenangan.
Sekarang, Cak Imin bukan lagi ekor naga. Mencalonkan diri dengan Anies Baswedan, kepentingannya pasti bukan untuk menjadi ekor. Kalau dilihat dari berbagai hasil survey, Anies adalah kandidat terlemah di tiga besar. Pilihan menjadi kepala ular ini bukanlah langkah politik lazim yang diambil oleh Cak Imin.
Apalagi, Anies Baswedan bukan seorang capres yang punya tradisi bergandengan tangan erat dengan segmen pemilih NU. Pilihan menjadi bakal calon wakil presiden Anies merupakan langkah yang sangat eksperimental bagi Cak Imin.
Sebagai partai politik, PKB memang sangat mungkin mengambil langkah yang out of the box. Sebab, Cak Imin dan pengurus lainnya memiliki usia yang relatif sama. Komunikasi dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan secara egaliter. Hambatan senioritas di PKB tidak sebesar di partai lainnya.
Sering kali, Cak Imin "ekor jas" ini disalahpahami. Kebanyakan elit merasa Cak Imin cukup hanya ikut di barisan pemenang. Ternyata, Cak Imin yang sekarang bukan lagi tokoh yang dapat digoda dengan kenikmatan yang ditawarkan oleh para pemain utama.
Meskipun salah satu yang paling muda di antara semua ketua partai yang ada di parlemen, pengalaman politik Cak Imin terbilang yang paling panjang dan komplit. Sejak tahun 1999, berbagai kursi jabatan strategis sudah pernah didudukinya. Melihat pada portofolio, Megawati Soekarnoputri merupakan satu-satunya Ketua Umum partai yang memegang tongkat komando lebih lama dari Muhaimmin Iskandar. Bertahan selama itu butuh ketekunan dan bakat dalam politik tentunya.
Sangat wajar, Cak Imin mengambil momentum untuk mewujudkan sebuah obsesi untuk membubuhkan namanya di dalam kertas suara. Semakin lama di panggung politik, kehendak untuk sesuatu yang simbolik semakin besar. Pada akhirnya, politik adalah proyek simbolik untuk membangun monumen kekuasaan. Bagi orang baru, materi dan kepentingan jangka pendek mungkin jauh lebih berarti.
Apapun hasil pertarungan di 2024 nanti, Cak Imin sudah berhasil menjadi satu dari sedikit warga negara Indonesia yang nama dan gambarnya dicetak dalam kertas suara. Sejauh ini, baru kurang lebih enam belas orang putra-putri terbaik bangsa yang mampu mendapatkan kesempatan tersebut. Sampai memasuki abad ke-22 nanti, kemungkinan tidak akan lebih dari seratus orang warga Indonesia yang bergabung pada daftar tersebut.
Namun, ujian terpenting dari perubahan iman Cak Imin adalah soal akurasi. Iman ekor naga sudah terbukti mengantarkannya sampai ke titik ini, namun apakah iman ekor jas akan membuat Cak Imin semakin bertaji? pertanyaan ini hanya bisa dijawab oleh waktu.
(Sumber: Detik)