Pasca Keputusan MS PKS, Perahu Anies-Imin Kian Kencang Berlayar

Pasca Keputusan MS PKS, Perahu Anies-Imin Kian Kencang Berlayar

Oleh: S Rivai Hutapea (alumni FH UGM)

Spekulasi tersebut terjawab sudah. Akhirnya, Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (MS PKS) memutuskan mendukung Abdul Muhaimin Iskandar (Imin) menjadi Calon Wakil Presiden mendampingi Anies Baswedan dalam Pemilu 2024. Keputusan tersebut diambil setelah MS PKS menggelar Musyawarah IX di Markas Dakwah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKS di Jalan TB Simatupang, Jakarta Selatan, Jumat, (15/9/2023).

Sebagaimana mafhum, pasca deklarasi Anies-Imin sebagai Capres dan Cawapres pada tanggal 2 September lalu, spekulasi tentang terjadinya “keretakan” di barisan partai pengusung Koalisi Perubahan, berhembus kencang. “Perpecahan” tersebut semakin menyeruak saat Partai Demokrat (PD), salah satu partai utama yang mengusung Koalisi Perubahan, hengkang dari koalisi. Sementara di sisi lain, PKS partai pengusung Koalisi Perubahan lainnya, perlu menunggu keputusan rapat Majelis Syuro. 

Dukungan bulat PKS kepada Abdul Muhaimin Iskandar tersebut selain menepis spekulasi yang berkembang juga menjelaskan dua hal. Pertama, menghilangkan stigma miring (stereotype) sebagian pihak bahwa PKS sulit berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) karena basis pendukung keduanya yang berbeda. Bak air dan minyak. Sulit disatukan, sukar dipadukan. 

Selama ini, karena adanya perbedaan sudut pandang dan ijtihad yang dikembangkan, “pergesekan” antar basis pendukung keduanya di tingkat akar rumput, sulit dielakkan. Saling tuding dan curiga, terjadi. Para relawan Anies, PKS dan lainnya yang bergaris pemikiran modernis sering diframing sebagai pengikut Muhammadiyah yang dianggap tidak toleran dengan hal-hal yang bersifat tradisional, anti tahlil, WAHABI dan lainnya. Yang selama ini dianut kuat oleh pengikut PKB yang notabene mayoritas kaum Nahdiyyin. 

Padahal, perbedaan keduanya tersebut, tidaklah fundamental. Berbeda hanya di bidang furuiyah (cabang-cabang). Bahkan jika ditarik lagi benang merahnya ke belakang, perbedaan tersebut terjadi pada proses polarisasi pemikiran dan pengalaman pendidikan 2 (dua) tokoh utama Muhammadiyah dan NU, yaitu KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari. 

Dengan dukungan bulat PKS tersebut, maka tudingan miring kepada partai yang memegang teguh nilai, etika demi politik bermartabat ini, tidak lagi relevan. Meski ada perbedaan, tidak berarti keduanya tidak dapat bekerja sama. Tidak juga membuat keduanya terpisah dan terbelah, tak dapat disatukan bak air dan minyak. 

Sebaliknya, pasca dukungan PKS ini, antara kedua basis massa tersebut, terlihat tidak lagi berjarak. Sekat-sekat antar kedua basis massa pendukung, semakin tidak terlihat. Bahkan, terjadi proses penyatuan persenyawaan (chemistry) antar keduanya. Terbangun pula saling kesepahaman (ukhuwah). Terpatri tekad bersama. Berjuang bersama-sama: memenangkan pasangan Anies-Imin untuk Indonesia yang lebih baik pada Pemilu 2024. 

Kedua, semakin mempertegas posisioning PKS dalam percaturan politik di Indonesia sebagai partai “terbuka” dengan pengelolaan secara modern. Di awal-awal berdiri, partai kader ini sering dicitrakan sebagai partai eksklusif dengan mengusung ideologi Tarbiyah Islamiyah. Namun seiring perkembangan partai dan kondisi perpolitikan di Indonesia, ideologi PKS mulai bergerak “ke tengah” dengan menjadi partai politik yang “terbuka”, plural dan menerima perbedaan dan keberagaman.

Dengan mengusung fikrah al-wasattiyah, partai yang didukung kader yang saleh, santun dan intelek ini semakin lebih moderat. Sikap politik PKS lebih proporsional, toleransi, moderat dan terbuka untuk bekerja sama dengan siapa pun, partai manapun untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan kemajuan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. 
    

Keterbukaan ideologi politik PKS dapat dilihat secara jelas dari komunikasi politik yang dibangun selama ini. Kebijakan-kebijakan yang ditelurkan para elit politik PKS, baik skala nasional maupun lokal misalnya, kerap mengakomodir kepentingan masyarakat luas. PKS juga mulai mengubah slogan partai menjadi “Partai Kita Semua”, PKS untuk Semua” dan Berkhidmat untuk Rakyat”. 

Para kader PKS juga terlihat mengelola partai dengan tata kelola yang baik, salah satu ciri dari partai modern. Keputusan yang diambil partai, ditimbang dan dipkirkan secara matang dengan mendengar masukan dari berbagai pihak dan sudut pandang. Tidak semata-mata berdasarkan mood Ketua Umum atau Ketua Dewan Pembina Partai. Namun, atas dasar aturan dan mekanisme internal yang disepakati partai sehingga menjadi keputusan yang membawa kemaslahatan. Boleh jadi inilah yang membedakan antara PKS dengan PD ketika merespon deklarasi Anies-Imin yang berujung terjadinya “prahara” politik di mana PD harus hengkang kaki dari barisan partai Koalisi Perubahan. 

Pastinya, pasca keputusan Majelis Syuro PKS, Anies-Imin memiliki syarat dukungan partai (Nasdem, PKS, PKB). Dan itu artinya Anies-Imin dapat maju untuk mendaftarkan diri sebagai Capres dan Cawapres dari partai Koalisi Perubahan pada Pemilu 2024. 

Berbekal 167 kursi (Nasdem 59 kursi, PKS 50 kursi dan PKB 58 kursi) atau setara dengan 26,95 % (Nasdem 9,05%, PKS 8,21% dan PKB 9,69 %), dukungan solid dari masyarakat  dan para relawan yang menghendaki perubahan yang lebih baik, mesin politik partai PKS-PKB-Nasdem,  serta dukungan resources yang memadai, tidak hanya cukup memenuhi syarat yang ditetapkan undang-undang. Pasangan Anies-Imin memenuhi syarat untuk memenangkan elektoral di Pemilu 2024. Kini, perahu Anies-Imin kian kencang berlayar. Insya Allah.

16 September 2023

(*)
Baca juga :