Pasangan Anies-Muhaimin Porakporandakan Formasi Politik

Pasangan Anies-Muhaimin Porakporandakan Formasi Politik

Analis politik Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan, keputusan Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Surya Paloh memasangkan Anies Baswedan dengan Ketua Umum Partai Kebangkita Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar sebagai bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden (capres/cawapres), memporakporandakan formasi politik menjelang pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) 2024.

“Pasangan Anies dan Imin (Muhaimin) merupakan kejutan politik yang porakporandakan skema formasi koalisi politik. Nasdem dan PKB sudah cukup memenuhi persyaratan 20 persen ambang batas untuk mengikuti kontestasi pilpres,” kata Selamat Ginting di Jakarta, Kamis (31/8/2023) malam.

Menurut Ginting, dengan skema formasi Anies berpasangan dengan Muhaimin, maka otomatis PKB akan keluar dari poros pendukung Prabowo Subianto. Di sisi lain, akan terjadi gejolak politik yang besar di Koalisi Perubahan dan Persatuan.

“Bagaimana nasib Partai Demokrat dan Partai Keadilan dan Sejahtera (PKS)? Apakah akan tetap berada dalam koalisi mendukung Anies Baswedan atau berpindah haluan? Kita tunggu saja bagaimana keputusan majelis tinggi Demokrat dan majelis syuro PKS,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.

Posisi Lemah

Dikemukakan, pertarungan politik di dalam Koalisi Perubahan memang cukup keras, terutama antara NasDem dengan Demokrat. Nasdem sejak awal lebih menginginkan bakal cawapres Anies berasal dari kubu Nadhdliyin. Di sisi lain, Demokrat menginginkan Ketua Umumnya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai bakal cawapresnya.

“Sejak awal Anies memang disokong dan dideklarasikan Nasdem. Setelah itu Demokrat dan PKS ikut mendukung dan mendeklarasikan Anies sebagai bakal capres. Karena itulah Demokrat berharap posisi bakal cawapres adalah AHY. Sementara PKS sudah bersedia untuk tidak menempatkan kadernya sebagai bakal cawapres,” ungkap Ginting.

Menurutnya, jika Demokrat maupun PKS tidak setuju dengan keputusan sepihak Nasdem, kedua partai politik itu dalam posisi tawar yang lemah. Demokrat dan PKS tidak cukup untuk bisa berkoalisi mengusung capres dan cawapres. Mereka harus bergabung dengan koalisi yang ada, mendukung Poros Anies, Poros Ganjar atau Poros Prabowo.

“Dengan telah diumumkannya pasangan Anies dan Muhaimin, maka inilah pasangan pertama yang bisa maju dalam pilpres,” kata Ginting.

Koalisi Nasdem dan PKB sudah mencukupi syarat minimal Presidential Threshold 20 persen.

Dikemukakan, sejak awal PKB berpotensi keluar dari poros pendukung Prabowo Subianto dan masuk ke poros pendukung bakal capres Anies Baswedan.

“PKB sudah merasa tidak nyaman, karena merasa tidak akan diberikan posisi sebagai bakal calon wakil presiden (cawapres) mendampingi bakal calon presiden (capres) Prabowo,” kata Ginting.

Bahkan, kata Ginting, Muhaimin sudah pada fase frustrasi politik. Muhaimin merasa sudah tidak bisa lagi melakukan penetrasi politiknya di poros Prabowo. Terutama setelah Prabowo mengganti nama poros dari Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM). Hal ini setelah masuknya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golongan Karya (Golkar) masuk dalam poros Prabowo.

“Imin tampaknya sudah frustrasi berat, sebab PKB dan Gerindra yang sejak awal membangun poros KKIR. Jawaban frustrasi itu kemungkinan besar, PKB akan hengkang dari poros pendukung Prabowo dan bergabung ke poros Anies Baswedan,” ungkap Ginting.

Dalam poros pendukung Prabowo, lanjut Ginting, baik PKB, PAN, maupun Golkar sama-sama menginginkan posisi bakal cawapres. PKB menginginkan Muhaimin, PAN mengusulkan Erick Thohir, dan Golkar menyorongkan Ketua Umumnya, Airlangga Hartarto.

Muncul juga alternatif seperti Ridwan Kamil dan putra Presiden Jokowi Gibran Rakabuming Raka, sambal menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi, terkait uji materi persyaratan usia mengikuti pemilihan presiden/wakil presiden.

***

Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI), Adi Prayitno, mengatakan duet Anies dan Muhaimin tidak lepas dari situasi politik yang bergerak dinamis. Menurut dia, di Koalisi Perubahan, NasDem dan Demokrat sejak awal tidak menunjukkan kesolidan, terutama soal nama bakal calon wakil presiden pendamping Anies. “Keduanya kerap kali perang terbuka yang dipertontonkan kepada publik. Bukan hanya perang dingin,” ujar Adi, kemarin. 

Di sisi lain, Muhaimin Iskandar juga tak kunjung diberi kepastian sebagai bakal calon wakil presiden pendamping Prabowo di Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Tiba-tiba, Prabowo mengumumkan nama koalisi baru, yaitu Koalisi Indonesia Maju. Nama baru itu otomatis menghapus kesepakatan untuk menjadikan Muhaimin sebagai bakal calon wakil presiden. “Dua konteks politik ini yang membuat duet Anies-Muhaimin hampir pasti,” kata Adi. 

Adi juga memprediksi Demokrat sudah pasti keluar dari koalisi. Demokrat pantas marah karena benar-benar mendukung Anies sebagai bakal calon presiden 2024. “Demokrat menunjukkan totalitasnya dan keseriusannya mendukung untuk 2024. Apalagi kader-kader Demokrat sudah menempatkan baliho di banyak tempat, terpampang foto Anies dan AHY,” kata Adi.

Adi menilai PKS memang ada kemungkinan tetap akan bergabung dengan koalisi Anies-Muhaimin. PKS selama ini menempel ke Anies karena mendapat berkah elektoral. Tapi PKS akan mengalami dilema. Sebab, konstituen PKS dan PKB kurang akur. “Secara ideologi, PKB identik dengan NU dan PKS Ikhwanul Muslimin. Jadi, mungkin akan ada gesekan,” kata Adi.

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, mengatakan Partai Demokrat sudah pasti akan keluar dari Koalisi Perubahan. Demokrat sudah terlalu kecewa terhadap sikap Anies dan Partai NasDem. Ujang menduga Demokrat justru akan menyerang habis-habisan pasangan Anies-Muhaimin karena kekecewaannya itu.

(Sumber: Jakartasatu, Koran Tempo)
Baca juga :