NGUTANG PAGI-PAGI
Utara Jakarta 1987
Pagi-pagi sebelum berangkat kerja ibuku menuju Warung nasi bersamaku yang saat itu masih berusia 10 tahun.
"Mbak, saya mau ngutang nasinya sebungkus, boleh mbak? nanti hari Sabtu saya gajian dibayar." Pinta ibuku pada pemilik warung.
"Aduh maaf Mbak, saya ga ngutangin, lagian masih pagi udah ngutang!" Ketus jawab pemilik warung nasi itu.
Akhirnya ibu menuju warung sembako, ia membeli satu gula merah seharga uang yang ia miliki saat itu, lima puluh rupiah.
Kami di kamar kontrakan sarapan dengan gula merah yang dibagi dua, disertai derai airmata ibu.
Masa sekarang.
Selepas subuh seperti biasa aku ingin ngopi, tapi gas habis jadi terpaksa menuju warung kelontong yang selalu buka 24 jam untuk membeli kopi matang.
"Bu ada kopi seduh?"
"Ada Pak, mau kopi apa?"
"Kopi hitam satu."
Setelah kopi dibuat aku duduk memandangi hujan gerimis tepat jam enam pagi itu.
"Bu, maaf boleh ngutang beras seliter? nanti gajian saya bayar." Ucap seorang wanita pada pemilik warung kelontong.
"Wah maaf mbak, saya ga ngutangin, lagian masih pagi udah ngutang!" Ketus jawaban pemilik warung mengingatkanku pada kenangan pahit masa lalu.
Wanita itu kemudian berlalu dengan wajah kecewa.
"Bu, beli berasnya dua liter, berapa?"
Tanyaku pada pemilik warung.
"Sebelas ribu seliter Pak, jadi kalo dua liter dua puluh dua ribu." Jawab Perempuan gemuk itu.
Aku lalu berikan uang seharga dua liter berapa itu, setelah ku terima beras aku langsung menyusul wanita yang hendak ngutang beras itu.
"Mbak, ini beras tolong diambil."
Wanita kisaran tiga puluh tahun itu kaget melihatku.
"Buat saya Pak?"
"Iya, mbak." Aku tersenyum.
Aku melihat matanya mulai berkaca-kaca dan aku ga akan kuat melihat itu, akupun langsung berlalu.
Sungguh banyak wanita yang membuang malunya untuk hutang beras atau nasi, bukan demi perutnya tapi demi perut orang yang ia sayangi, namun kita kadang tak perduli.
(Ahmad Mustopa)