EDITORIAL METRO TV (9 September 2023):
Potret Usang Pembangunan di Pulau Rempang
BENTROK masyarakat adat Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau, dengan aparat keamanan gabungan pada Kamis (7/9/2023) lalu menjadi bukti miskinnya pendekatan sosiologis rencana pembangunan kepada masyarakat. Rencana pemerintah membangun Rempang Eco-City, salah satu dari proyek strategis nasional (PSN), telah menempatkan masyarakat sebagai objek, bahkan hanya jadi penonton dari atraksi yang menamakan diri pembangunan.
Berawal dari minimnya dialog akan rencana pembangunan, pemerintah langsung main ukur tanah dan pasang patok di sana, yang ujungnya meminta masyarakat untuk angkat kaki dari kampung kelahiran mereka.
Sebuah praktik usang yang kerap terjadi di masa Orde Baru, pembangunan menjadi mantra sakti untuk membenarkan penggusuran permukiman warga.
Pembangunan proyek infrastruktur yang berujung pada konflik pemerintah dengan masyarakat setempat sejatinya bukan baru kali ini terjadi. Setiap tahun, selalu ada pengaduan warga yang masuk ke Komnas HAM perihal itu.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, mestinya rajin membaca aturan perundangan yang telah dibuat dalam membangun negeri ini agar tak sering jatuh ke lubang yang sama berkali-kali.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, lewat Resolusi Komisi Hak Asasi Manusia 1993/77, telah menempatkan penggusuran paksa sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dengan klasifikasi gross violation of human rights atau pelanggaran HAM kategori berat.
Sejak negeri ini dirintis pada 1945, Bapak Pendiri Bangsa menolak keras perbuatan apapun yang melanggar perikemanusiaan dan perikeadilan. Semangat itu tertuang jelas di pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Semangat itu kembali dipertegas di masa reformasi lewat Pasal 28E UUD 1945 hasil amendemen, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak menentukan di mana ia tinggal, ingin meninggalkan tempatnya, dan berhak untuk kembali lagi. Semakin dipertegas oleh Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Kalau begitu, menjadi pertanyaan besar jika pemerintah melaksanakan pembangunan dengan mengorbankan rakyatnya. Apa bedanya kelakuan seperti itu dengan praktik kolonial Belanda semasa menjajah Indonesia?
Berkaca dari bentrok di Pulau Rempang, jelas sekali rencana mulia pembangunan dibuat tanpa melibatkan warga setempat sejak awal. Sejumlah warga yang berusaha mempertahankan hak mereka justru ditahan penegak hukum.
Ibarat nasi sudah menjadi bubur, kemarahan masyarakat sudah telanjur mengemuka di Pulau Rempang. Pemerintah mesti segera mengambil langkah cepat dalam meredam amarah masyarakat di sana.
Jika tidak, rencana membangun Pulau Rempang untuk menjadi destinasi investasi yang ditaksir mencapai Rp381 triliun dan dapat menyerap hingga 306.000 tenaga kerja hingga 2080 bakal terhenti.
Jadikan rakyat Pulau Rempang sebagai subjek, bukan objek pembangunan.
Hakikat pembangunan adalah menyejahterakan rakyat, bukan menyengsarakan rakyat.
[VIDEO]