Mengerikan Sekali Mentalitas Pemimpin Seperti Ini...

Catatan Kritis: Arsyad Syahrial

𝐓𝐞𝐧𝐚𝐠𝐚 𝐊𝐞𝐫𝐣𝐚 𝐀𝐬𝐢𝐧𝐠 𝐒𝐨𝐥𝐮𝐬𝐢 𝐑𝐞𝐧𝐝𝐚𝐡𝐧𝐲𝐚 𝐊𝐮𝐚𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐓𝐞𝐧𝐚𝐠𝐚 𝐊𝐞𝐫𝐣𝐚 𝐋𝐨𝐤𝐚𝐥?


Terus terang saya kaget bahkan muak lihat penjelasannya oknum ini.

Bagaimana tidak?

Masa iya seorang pemimpin menilai kualitas pekerja bangsanya rendah hanya dari "test tidak lulus" dan "pengangguran tinggi", lalu itu jadi justfikasi untuk mengambil pekerja dari luar negeri (China) sebagai substitusi posifif?

Jelas itu bukan jiwa seorang pemimpin negara, tetapi mentalitas "tauke leveransir bahan bangunan".

Kalau mentalitas pemimpin, maka pernyataannya itu sungguh keliru, bahkan sangat keliru! dari beberapa sisi.

Pertama, "banyak yang tidak lulus test" itu harus dilihat detailnya bagaimana kenapa sampai tak lulus?

Apakah tidak match antara spesifikasi kebutuhan pekerja dengan ketersediaan pekerja? Kemudian apakah kriteria test seleksinya wajar?

Itu dulu, baru setelah itu dilihat kemungkinan solusinya apa, tidak bisa serta merta mengatakan: "Oh ya sudah, kalau begitu kita impor tenaga kerja asing saja".

Kedua, "tingkat pengangguran tinggi" itu karena apa?

Apakah lagi-lagi karena tidak match antara spesifikasi kebutuhan pekerja dengan ketersediaan tenaga kerja? Atau memang karena lapangan pekerjaan itu betul yang tak tersedia secara memadai?

Keduanya punya solusi yang jauh berbeda. Yang satu menuntut penyediaan pendidikan tinggi vocational/siap kerja (D1/2/3/4). 

Bukan rahasia lagi bahwa negeri kita ini sudah salah kaprah soal pendidikan tinggi. Semua orang ingin jadi sarjana, dan menganggap bahwa pendidikan vocational itu lebih rendah. 

Padahal di LN, di negara-negara maju, pendidikan vocational ini yang banyak (contohnya di TAFE Aussie, atau Diploma / Associate Degree di Amrik) itu lebih diminati, karena memang lulusannya siap kerja (dan bahkan menurut penelitian lulusan vocational education itu setelah 10 tahun pun tetap banyak yang penghasilannya lebih tinggi daripada yang sarjana).

Adalah fakta bahwa sarjana itu perlunya sedikit saja (mungkin 30% saja paling banyak), sebab sarjana itu tidak siap kerja. Sarjana adalah disiapkan untuk jadi "pemikir". Fakta di lapangannya pemikir itu memang perlunya sedikit saja, yang banyak dibutuhkan itu adalah "pekerja".

Sementara di kita, semua ingin jadi sarjana, semua harus jadi sarjana. Akhirnya terjadilah "inflasi sarjana", sampai level OB atau buruh saja ada sarjana yang mengisinya. Itu kan tak pada tempatnya?

Adapun kalau masalahnya kekurangan lapangan pekerjaan, yang terlihat dari begitu banyaknya pelamar Ojol, maka solusinya adalah membuka lebih banyak lapangan pekerjaan melalui investasi. Ini tak sederhana, banyak kebijakan end to end yang harus disiapkan, termasuk insentif-insentif fiskal & moneter.

Bahkan bukan sekedar itu saja, kita sebagai negara agraris lapangan pekerjaan yang berhubungan dengan itu sekarang justru miris. Tanah pertanian makin menyusut, petani dan nelayan banyak yang meninggalkan pekerjaannya, entah itu pindah ke kota karena mencari pencaharian yang lebih baik akibat harga produk yang mereka hasilkan tidak kompetitif (entah akibat keran impor yang dibuka selebar-lebarnya, atau karena biaya produksi yang mahal akibat inefsiensi rantai supply), atau karena lahan / lautnya rusak tercemar. 

Di atas itu semua, baik point pertama dan point kedua solusinya BUKAN impor tenaga kerja asing.

Coba deh, kalau anak negeri tidak diberi pekerjaan, tidak disupport untuk berproduksi, lantas mereka punya uangnya dari mana? Apa enggak makin terpuruk jadinya perekonomian negeri ini karena sudahlah anak negeri tak dapat apa-apa, uang gaji dibawa keluar (TKA), barang-barang produksi dibeli dari luar (IMPOR), dan akhirnya asset tergadai kepada asing karena terjerat utang & bunganya yang membengkak.

Mengerikan lah kalau pemimpin pemikirannya kayak begini…!

(fb)

Baca juga :