Oleh: Joko Intarto
Hati boleh panas. Tapi kepala harus tetap dingin. Pepatah itu ternyata cocok juga dibawa ke ranah politik
Komposisi Nasdem + PKB (20%) jadi kuncian bagus untuk mengamankan batas dukungan minimal untuk bacapres dan bacawapres. Kuncian itu tidak bisa diperoleh dengan komposisi Nasdem + Demokrat (19%), atau Nasdem + PKS (18%).
Kuncian itu penting karena akan mengokohkan koalisi. Dengan komposisi Nasdem + PKB, Koalisi Perubahan dan Persatuan menjadi sekuat PDIP (22%). Bila tidak ada partai lain yang ikut mengusung, Nasdem + PKB tetap memenuhi syarat untuk memajukan capres dan cawapres.
Implikasinya: Langkah Anies Rasyid Baswedan berpasangan dengan Muhaimin Iskandar menuju pilpres 2024 tak bisa dihadang lagi. Bertahannya PKS dalam Koalisi Perubahan dan Persatuan akan membuat jalan Anies dan Cak Imin kian lapang.
Sayangnya Demokrat terlanjur emosi dan buru-buru cabut dari Koalisi Perubahan dan Persatuan.
Kemana Demokrat akan berlabuh? Merapat ke Pak Ganjar atau ke Pak Prabowo?
Dalam negosiasi, penting untuk memahami posisi.
PDIP tidak akan bisa ditekan Demokrat karena tanpa partai lain bisa mencalonkan sendiri. PPP yang sudah nempel sejak lama saja tidak digubris. PPP baru "rasan-rasan" (menanyakan terus) soal nasib Sandiaga Uno, PDIP langsung mempersilakan PPP untuk cabut dari koalisi. Itu realitanya.
Merapat ke koalisi Gerindra + Golkar + PAN + PBB + Gelora? Di Koalisi Indonesia Maju jumlah kursinya sudah berlebih. Demokrat juga tidak akan menjadi partai penentu. Ibaratnya kalau mau gabung Alhamdulillah. Tidak mau gabung ya gak apa-apa.
Bikin poros keempat? Dengan siapa? Berdua dengan PPP tidak mungkin. Kursi PPP terlalu sedikit. Kecuali mengajak PKS. Tapi PKS sepertinya tidak bergeming.
Tidak ikut mendukung salah satu dari tiga poros? Menurut KPU, tidak boleh. Partai peserta pemilu harus mendukung salah satu.
Yang bisa didukung sudah ada tiga. Akan mudah kalau tanpa syarat yang satu itu (cawapres).