Kejanggalan Putusan Kasasi Surya Darmadi
JAKARTA – Berbagai kalangan mengkritik putusan Mahkamah Agung terhadap Surya Darmadi. Mereka menilai banyak kejanggalan dalam putusan kasasi Mahkamah Agung yang menghapus keharusan pemilik PT Duta Palma grup itu untuk membayar kerugian perekonomian negara sebesar Rp 39,7 triliun.
Ahli pelindungan hutan Institut Pertanian Bogor, Bambang Hero Saharjo, menjelaskan, pada persidangan tingkat pertama di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, majelis hakim justru menyatakan Surya terbukti melakukan korupsi dalam memperoleh izin usaha perkebunan (IUP) kelapa sawit di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, pada 1999-2008 dan mengakibatkan terjadinya kerugian perekonomian negara. Karena itu, Surya diharuskan membayar uang pengganti kerugian negara Rp 2,2 triliun dan kerugian perekonomian negara Rp 39,7 triliun.
Kalkulasi kerugian perekonomian negara ini berasal dari kerusakan lingkungan yang timbul akibat perbuatan terdakwa mengalihkan hutan secara ilegal menjadi perkebunan sawit. "Kami menghitung nilai kerusakan lingkungan berbasis regulasi, yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup," kata Bambang kepada Tempo, Rabu, 20 September 2023.
Menurut Bambang, hitungan nilai kerusakan lingkungan itu mengacu pada analisis terhadap fakta-fakta di lapangan, data citra satelit, dan data laboratorium yang terakreditasi. Karena itu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat ataupun Pengadilan Tinggi Jakarta mengakui dasar perhitungan kerugian perekonomian negara tersebut.
Pada 14 September lalu, majelis hakim kasasi Mahkamah Agung sesungguhnya menyatakan Surya Darmadi terbukti melakukan korupsi. Lalu majelis hakim kasasi yang terdiri atas Dwiarso Budi Santiarto, Sinintha Yuliansih Sibarani, dan Yohanes Priyana memperberat hukuman badan terhadap Surya, dari 15 tahun menjadi 16 penjara. Surya juga divonis membayar denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan dan membayar uang pengganti kerugian negara senilai Rp 2,23 triliun. Namun majelis hakim kasasi menghapus keharusan Surya membayar kerugian perekonomian negara sebesar Rp 39,7 triliun.
Putusan kasasi ini berbeda dari vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang dibacakan pada 23 Februari dan 13 Juni lalu. Di pengadilan tingkat pertama, Surya divonis 15 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara, serta membayar uang pengganti kerugian negara Rp 2,23 triliun dan kerugian perekonomian negara Rp 39,7 triliun. Pengadilan Tinggi Jakarta lantas menguatkan putusan tersebut.
Dalam putusan itu, Surya dinyatakan terbukti membuka lahan perkebunan sawit dan menguasai kawasan hutan di Kabupaten Indragiri Hulu secara ilegal sejak 1999 hingga 2008. Perkebunan sawit itu seluas 37.095 hektare. Surya menggunakan sejumlah perusahaan untuk mengelola kebun sawit itu, di antaranya PT Kencana Amal Tani, PT Panca Agro Lestari, PT Palma Satu, PT Banyu Bening Utama, dan PT Seberida Subur.
Bambang Hero menjelaskan, saat pihak Surya mengajukan kasasi, dirinya bersama sejumlah ahli yang terlibat proses pembuktian adanya kerugian perekonomian negara dalam perkara itu telah melengkapi semua berkas untuk diperiksa di Mahkamah Agung. Berkas-berkas itu di antaranya perhitungan nilai kerugian perekonomian negara yang berbasis pemetaan citra satelit dan grafik.
Data kerugian perekonomian negara itu juga merujuk pada hasil pemeriksaan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Lembaga itu pernah menyebutkan total kerugian keuangan negara dan perekonomian negara akibat perbuatan korupsi Surya mencapai Rp 104,1 triliun. Nilai itu, di antaranya, terdiri atas provisi sumber daya hutan dan kerusakan hutan yang membutuhkan biaya pemulihan lingkungan hingga Rp 4,9 triliun.
Tempo berupaya meminta penjelasan Mahkamah Agung mengenai pertimbangan majelis hakim yang menghapus kewajiban Surya membayar kerugian perekonomian negara. Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Suhadi, meminta Tempo mengajukan konfirmasi ke juru bicara Mahkamah Agung, Suharto. Adapun Suharto sama sekali tak merespons panggilan telepon ataupun pesan pendek yang dikirim ke telepon selulernya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Ketut Sumedana, menyatakan lembaganya belum bisa berkomentar banyak mengenai putusan kasasi kasus korupsi Surya Darmadi tersebut. "Intinya, kami perlu pelajari dulu. Kami tidak bisa memberikan jawaban langsung hendak diapakan perkara ini karena butuh mempelajari apa dasar pertimbangan majelis hakim dalam memberikan hukuman tersebut," kata Ketut, kemarin.
Ketut mengaku kejaksaan belum menerima salinan putusan kasasi tersebut. Kejaksaan justru baru mengetahui putusan kasasi Surya melalui situs web resmi Mahkamah Agung dan pemberitaan di media massa.
Direktur Hukum Yayasan Auriga Nusantara, Rony Saputra, menilai majelis hakim kasasi melampaui kewenangan dalam memutus perkara Surya. Sebab, fungsi kasasi semestinya memeriksa sejauh mana hakim di pengadilan tingkat pertama menerapkan norma hukum. Karena itu, majelis hakim kasasi tidak berwenang menguji pokok perkara dan bukti-bukti tindak pidana yang sebelumnya diuji di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Kami akan mendorong Komisi Yudisial menelusuri dan memeriksa perilaku hakim karena dugaan putusan yang melampaui kewenangannya," kata Rony.
Juru bicara Komisi Yudisial, Miko Ginting, mengatakan Mahkamah Agung memang perlu menjelaskan alasan memeriksa dan mengubah putusan terhadap Surya. Apalagi kasus ini sudah menjadi sorotan publik sejak awal. "Area Komisi Yudisial ketika ada dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim. Jika para pihak atau masyarakat menganggap ada dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim, bisa melaporkan kepada Komisi Yudisial," kata Miko.
Preseden Buruk Peradilan Kejahatan Lingkungan
Ahli ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Rimawan Pradiptyo, menilai putusan kasasi yang menghapus beban kerugian perekonomian negara menjadi preseden buruk dalam penegakan hukum terhadap kasus korupsi yang berimbas kerusakan lingkungan. Ia mengatakan publik akan menilai tambahan 1 tahun penjara seolah-olah menjadi konversi atas penghapusan kewajiban Surya Darmadi untuk membayar kerugian perekonomian negara Rp 39,7 triliun. Jika dikalkulasi, satu hari masa hukuman yang akan dilewati Surya nantinya setara dengan Rp 109,59 miliar.
"Baru paham saya bahwa kenaikan hukuman 1 tahun penjara nilainya Rp 40 triliun yang tak perlu dibayarkan," kata Rimawan. "Nanti teman-teman akademikus dan organisasi masyarakat sipil mengeksaminasi putusan tersebut."
Rimawan adalah saksi ahli yang menghitung kerugian perekonomian negara dalam perkara Surya. Ia menggunakan pendekatan irreducible minimum, yaitu metodologi penilaian kerugian negara minimum yang ditanggung negara sebesar Rp 78 triliun. Dengan demikian, nilai kerugian perekonomian negara akibat perbuatan terdakwa seharusnya minimal Rp 78 triliun atau lebih tinggi.
Hitungan Rimawan ini diperoleh dengan mengidentifikasi penurunan kualitas tanah dan air di kawasan perkebunan sawit milik PT Duta Palma Group. Dari identifikasi itu, negara akan mengeluarkan biaya hingga Rp 73,9 triliun untuk mengembalikan daya dukung lingkungan dan pemulihan lingkungan atas hutan yang sudah dialihfungsikan secara ilegal di Indragiri Hulu tersebut.
Fakta di lapangan, kata dia, perusahaan-perusahaan milik Surya telah mengubah bentang hutan menjadi kebun sawit, yang ternyata tanpa izin atau ilegal. Selain itu, negara kehilangan penerimaan dana reboisasi dan sewa penggunaan kawasan hutan.
Bambang Hero Saharjo menguatkan pendapat Rimawan tersebut. Bambang mengatakan putusan kasasi ini akan menjadi preseden buruk dalam upaya pengembalian kerugian negara akibat tindak pidana korporasi dan korupsi di sektor sumber daya alam. Ia pun mempertanyakan pihak yang akan bertanggung jawab akibat kerusakan lingkungan di area perkebunan sawit perusahaan milik Surya Darmadi.
"Tidak adanya pengenaan tanggung jawab seolah-olah perusakan Rp 104,1 triliun itu legal dan tidak perlu dipertanggungjawabkan," kata Bambang.
Ia khawatir, di masa mendatang, penegakan hukum bakal kian tumpul dalam kasus kejahatan lingkungan. Sebab, penegak hukum akan berpikir berulang kali ketika menjeratkan beban denda kerugian perekonomian negara kepada terdakwa. Apalagi selama ini penegak hukum selalu kesulitan mengembalikan kerugian negara dalam kasus perdata dan pidana atas kejahatan lingkungan.
[Sumber: Koran Tempo, Kamis, 21 September 2023]