Potensi Jumlah Penumpang dan Alih Teknologi Kereta Cepat
Oleh: Totok Siswantara
(Anggota Dewan Pakar Ikatan Alumni Program Habibie)
Pemerintah menciptakan euforia atas kehadiran kereta cepat Jakarta-Bandung (KCJB) untuk menutupi amburadulnya masalah pembiayaan yang akan membebani PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI dan nihilnya alih teknologi dalam proyek tersebut.
Di tengah euforia kereta cepat itu, justru mencuat pertanyaan siapa penumpang yang nantinya secara intens atau teratur menggunakan kereta cepat? Kemudian, faktor apa yang bisa menyebabkan masyarakat mau berganti moda transportasi ke KCJB? Bagaimana pula peran bermakna pemerintah daerah yang ditempati stasiun KCJB karena peran pemda selama tahap pembangunan kurang signifikan? Bahkan postur pekerja terampil dan ahli sebagian besar bukan penduduk lokal, melainkan tenaga kerja asing. Hanya beberapa jenis pekerjaan, seperti satuan pengamanan (satpam), sopir, petugas kebersihan, dan kuli, yang menjadi jatah penduduk lokal.
Data di negara yang telah mengoperasikan kereta cepat menyatakan jumlah penumpang (ridership) moda tersebut di negara-negara maju sering dibandingkan dengan jumlah penumpang moda transportasi udara. Jumlah penumpang layanan kereta cepat biasanya lebih tinggi dibanding pesawat terbang jika waktu tempuhnya 3-4 jam. Sedangkan jika waktu tempuh di atas empat jam, moda transportasi udara lebih tinggi tingkat penggunaannya dibanding kereta cepat.
Penelitian Jang Ho-lee dan Justin S. Chang terhadap layanan kereta cepat Korea Train Express (KTX) di Korea Selatan, koridor Gyeongbu (Seoul-Busan) dan Honam (Seoul-Mokpo/Yeosu), bisa menjadi perbandingan. Hasil penelitian mereka yang dipublikasikan dalam Transportation Research Record pada 2006 itu menunjukkan bahwa terjadi perubahan jumlah penumpang yang signifikan pada moda transportasi lain setelah KTX beroperasi. Misalnya, perjalanan mobil berkurang antara Seoul dan kota-kota di koridor Gyeongbu. Jumlah penumpang bus ekspres di koridor Gyeongbu menurun signifikan serta jumlah penumpang pesawat terbang antara Seoul dan kota-kota dengan layanan KTX langsung menurun drastis.
Bagaimana dengan koridor KCJB, mengingat letak stasiun yang telah dibangun ternyata bukan kawasan yang memiliki faktor jumlah penumpang yang tinggi? Kita lihat saja dua stasiun KCJB, yakni Tegalluar dan Padalarang, yang bukan kawasan industri. Stasiun Tegalluar masih sepi, sementara kawasan di sekitar Stasiun Padalarang masih semrawut dan macet parah.
Bagaimana cara meningkatkan faktor jumlah penumpang KCJB? Studi menunjukkan, untuk bersaing dengan pesawat terbang, frekuensi kereta harus lebih sering serta mesti bagus tingkat okupansinya atau hampir mengisi seluruh kapasitas kursi untuk menghasilkan pendapatan yang cukup guna menutupi biaya operasional. Indeks populasi kota dan konsentrasi kegiatan ekonomi di kawasan pusat bisnis dan dekat stasiun kereta cepat juga penting.
Melihat kondisi Stasiun Tegalluar dan Padalarang saat ini, perlu strategi untuk mengubah kluster atau jenis penumpang KCJB, dari yang rencananya membidik segmen pekerja atau pebisnis menjadi penumpang yang rutin menjadi segmen wisatawan lokal. Sebab, sulit bagi pebisnis atau pekerja yang naik KCJB dan harus sambung-menyambung lagi dengan moda lain jika sampai di Stasiun Padalarang ataupun Tegalluar.
Satu-satunya harapan agar nantinya KCJB tidak kekurangan penumpang dan tidak bangkrut karena terlalu mahalnya nilai investasi serta terus merongrong APBN adalah mengubah segmentasi penumpang menjadi wisatawan dalam negeri. Segmen ini tentu memiliki animo tinggi untuk menikmati sensasi wisata naik kereta cepat. Strategi ini membutuhkan peran pemerintah daerah untuk membangun infrastruktur wisata di dekat Stasiun Tegalluar, seperti pembangunan terminal bus dan kendaraan, hotel dengan tarif yang murah, dan wahana wisata serta pusat industri kreatif dan kebudayaan. Selain itu, di Stasiun Tegalluar perlu dibangun infrastruktur yang terkoneksi dengan stadion Gelora Bandung Lautan Api dan Masjid Agung Al Jabbar yang letaknya di seberang jalan tol, tidak jauh dari stasiun tersebut.
KCJB nanti bisa bangkrut dan mangkrak jika terbelit masalah teknis dan nonteknis. Karena itu, pengelola perlu mengembangkan model bisnis yang sesuai dengan tren dunia. Kita bisa menengok inovasi dan riset yang dilakukan Kereta Api Nasional Prancis (SNCF). Selama ini, SNCF merupakan pusat dunia dalam pengembangan kereta berkecepatan sangat tinggi, yakni train à grande vitesse (TGV), yang terus-menerus berinovasi membuat rekor dunia dalam hal kecepatan.
SNFC juga melakukan berbagai riset dan inovasi mengenai value conscious. Penelitian SNFC menyatakan, pada saat ini, faktor kecepatan saja tidaklah cukup untuk menjadi daya tarik. Karena itulah, SNFC juga berinovasi dengan layanan, antara lain bekerja sama dengan Disneyland untuk merancang gerbong TGV yang memiliki fasilitas pariwisata dan hiburan fantastis.
Pengadaan KCJB yang dibeli dari luar negeri ini semestinya juga disertai dengan inovasi model bisnis dan tahapan penguasaan teknologi sehingga nanti bisa dilakukan secara mandiri oleh Indonesia. Pembangunan megaproyek yang tergesa-gesa dan tanpa perencanaan yang matang akan menyebabkan gagalnya transformasi teknologi dan industri. Idealnya, transformasi tersebut disertai dengan tahapan-tahapan yang jelas, yakni tahapan penguasaan teknologi kereta cepat yang didukung persiapan sumber daya manusia dengan berbagai spesialisasi dan kompetensi.
Tenaga kerja KCJB dengan spesifikasi teknisi dan insinyur masih didominasi tenaga kerja asing. Tenaga lokal hanya untuk jenis pekerjaan kasar. Seharusnya tenaga kerja lokal, baik yang masuk kategori teknisi maupun insinyur, bisa mendominasi proyek nasional yang didanai dari utang ini. Sebab, pada gilirannya nanti, utang itu dipikul generasi mendatang.
Pembangunan KCJB harus mengacu dan sesuai dengan Undang-Undang Perkeretaapian. Pembangunan semestinya berfokus pada tahapan penguasaan teknologi dan industri dalam arti yang sebenar-benarnya serta dilakukan penuh oleh bangsa sendiri.
(Koran Tempo, 26/9/2023)