DINASTI JOKOWI

Pesona Elektoral DINASTI JOKOWI

Bermodalkan populisme, Presiden Joko Widodo berhasil menjadikan anak dan menantunya sebagai pesona elektoral bagi partai politik. Setelah putra sulung dan menantunya menang mudah dalam pemilihan kepala daerah, Jokowi baru-baru ini merestui anak bontotnya, Kaesang Pangarep, menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Sebagai anak presiden, Kaesang mendapat hak istimewa. Baru tiga hari menjadi kader, dia langsung didapuk sebagai ketua umum menggantikan Giring Ganesha. Menggaungkan gagasan meritokrasi dalam rekrutmen kader dan pemimpin partai, PSI tidak menerapkan hal tersebut dalam urusan rumah tangganya sendiri. Dengan mendapuk Kaesang sebagai ketua umum, PSI gagal menjalankan kaderisasi dan sistem meritokrasi internal.

Figur Jokowi juga diyakini menjadi faktor yang menentukan dalam kemenangan Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan kepala daerah Solo dan Bobby Nasution dalam pilkada Medan pada 2020. Dengan kemenangan tersebut, Jokowi menorehkan rekor sebagai presiden pertama yang memiliki anak dan menantu wali kota. Jokowi kembali mencetak rekor karena dia juga menjadi presiden pertama yang memiliki anak menjabat ketua umum partai politik.

Jokowi, yang bukan "siapa-siapa", menapaki karier politiknya sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta, hingga Presiden RI dari nol. Ia menjadi tokoh fenomenal karena mematahkan mitos bahwa sirkulasi politik hanya bisa berpusat di lingkaran elite. Ketika itu, tumbuh optimisme bahwa siapa pun bisa menembus dinding kekuasaan yang lama kedap. Optimisme kian menguat karena Jokowi berjanji tidak akan menarik-narik anak dan keluarganya ke dunia politik.

Namun, pada periode keduanya sebagai presiden, Jokowi sendiri yang memadamkan optimisme itu dengan merestui Gibran dan Bobby maju dalam pemilihan kepala daerah. Jokowi mengingkari ucapannya. Jokowi bukan hanya mendorong keluarganya mengambil jalan pintas, tapi juga menghilangkan kesempatan bagi calon-calon pemimpin daerah yang lebih baik dan berpengalaman. Praktik yang dilakukan anak dan menantu Jokowi menutup sistem sirkulasi politik yang adil dan terbuka bagi semua warga negara. 

Tak bisa dimungkiri, ketika seorang presiden menjadi patron bagi keluarganya yang terjun ke dalam dunia politik, mereka akan mendapatkan kemudahan dan keuntungan. Privilese ini juga yang didapatkan Kaesang Pangarep hingga bisa memimpin PSI dengan jalur instan. Fenomena ini kian mengukuhkan gejala gagalnya kaderisasi di partai dan kuatnya politik transaksional demi kepentingan mendulang suara dalam Pemilu 2024.

Memberikan jalan bagi sanak keluarga menduduki posisi kepala daerah dan ketua umum partai tampaknya merupakan pilihan Jokowi agar tetap diperhitungkan di panggung politik nasional. Apalagi Gibran dan Bobby disebut-sebut akan "naik kelas". Bobby berhasrat maju dalam pemilihan Gubernur Sumatera Utara. Sedangkan Gibran digadang-gadang akan menjadi calon pendamping Prabowo Subianto karena gugatan batas usia cawapres berpeluang dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Prabowo merupakan kandidat yang berpeluang besar mendapat sokongan Jokowi.

Gagal membangun kaderisasi, partai-partai memilih jalan pintas berebut anak dan menantu Presiden. Mereka berharap mendapatkan efek ekor jas popularitas Jokowi, yang memperoleh skor tinggi dalam sejumlah survei tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahannya. Alih-alih menjadi alat demokrasi, partai-partai kian terbenam dalam politik elektoral. Pola rekrutmen kader yang baik dan sistem meritokrasi di lingkup internal partai saat ini menjadi praktik langka.

Kelemahan partai seperti ini yang memberi celah munculnya politik dinasti seperti yang terjadi pada Jokowi dan keluarganya. Dengan pesona elektoralnya, mereka menggunakan partai untuk bertahan dalam sirkulasi kekuasaan politik.

(Sumber: Editorial Koran Tempo, Rabu, 27 September 2023)
Baca juga :