Catatan Agustinus Edy Kristanto:
Terlalu menggampangkan masalah kalau Presiden Jokowi berkata masalah Rempang semata imbas komunikasi yang buruk.
Dia tak mau bilang akar masalah sebenarnya: duit!
Meminjam perkataan Tomy Winata (Majalah Tempo, Senin, 18 September 2023), ini ibarat "kita lagi gosok-gosok lampu Aladdin, cuma karena diteriakin melulu lampu Aladdin-nya, tuyulnya ilang."
Menurut saya, lebih tepat, justru "komunikasi" dengan "tuyul" soal duit itulah inti perkaranya.
Pertanyaannya, siapakah tuyul itu dan berapa duit!
Saya tidak mau percaya begitu saja angka-angka bombastis nilai investasi Rempang (US$11,5 miliar atau setara Rp172,5 triliun kurs Rp15.000) yang keluar dari sejumlah pejabat pemerintahan sekarang.
Begitupun narasi investasi asing menciptakan lapangan kerja patut kita curigai.
Faktanya nilai investasi tidak otomatis menaikkan lapangan kerja.
Tahun 2013, realisasi investasi Rp400 triliun menciptakan 1,83 juta lapangan kerja. Tahun 2022, realisasi investasi Rp1.207 triliun, lapangan kerja hanya 1,3 juta.
Tren penurunan itu, kata Majalah Tempo, nampak dalam sepuluh tahun terakhir.
*
Kembali ke laptop.
Nomor satu, masalah Rempang jangan diselesaikan dengan senjata. Ngapain buang-buang anggaran hanya untuk menyakiti rakyat!
Nomor dua, terbukalah wahai pemerintah soal tuyul dan duit itu kepada masyarakat.
Mari kita urutkan kasusnya.
Pangkal barang ini ramai lagi sekarang adalah kabar pada 18 April 2023 bahwa PT Makmur Elok Graha (MEG) dapat investor dari China.
Maka diuruslah legalitas lahan Rempang.
MEG diberitakan adalah bagian dari Grup Artha Graha. Akta perubahan per 1 Agustus 2023 menunjukkan pemegang saham mayoritas MEG adalah PT Wisesa Makmur Raya (15.015 lembar) dan PT Inti Bahana Indah Semesta (5.005 lembar).
Si "tuyul" yang lagi digosok-gosok adalah Grup Xinyi dari China. Terkhusus di Rempang, yang mau masuk adalah anaknya yang main di bisnis kaca: Xinyi Glass Holdings Ltd (kode saham 868, listing di Bursa Hongkong).
868 inilah yang berkomunikasi dengan MEG.
Per 31 Desember 2022, 868 menyatakan telah mengeluarkan dana 2.624,4 juta dolar Hongkong (sekitar Rp5 triliun) untuk mengakuisisi pabrik dan konstruksi di China, Malaysia, dan Indonesia (Lapkeu 868 audited 2022).
MEG pegang konsesi di Rempang (sertifikat HGB) seluas 16.583 hektare untuk waktu 80 tahun. Kesepakatan dengan BP Batam dibuat 26 Agustus 2004.
Izin perpanjangan per 20 tahun dan 50 tahun. Artinya sebentar lagi harus memperpanjang (pada 26 Agustus 2024).
Hitungannya, dulu pada 2004, ada tarif namanya UWT (Uang Wajib Tahunan) yang ditetapkan besarnya Rp21.750 m2.
Berarti kalau punya lahan 16.583 hektare (165.830.000 m2), tarif UWT adalah Rp3,6 triliun.
Angka Rp3,6 triliun penting, karena pada 2007, Bareskrim Polri pernah diberitakan mengusut suatu perkara berkaitan dengan lahan Rempang karena diduga ada kerugian negara Rp3,6 triliun, yang diindikasikan timbul akibat perjanjian antara MEG dan WP Batam.
Bahasa mudahnya adalah kemungkinan tarif UWT belum dibayar oleh MEG yang merasa ngapain bayar karena lahan belum diserahterimakan. Syarat serah-terima lahan adalah lahan harus kosong.
Entah bagaimana kelanjutan kasus itu di Bareskrim.
Nah, sekarang menjelang kewajiban perpanjangan 20 tahun, yang jatuh pada 26 Agustus 2024, tentu harus bayar UWT lagi.
Saya cek di situs BP Batam, Pulau Rempang masuk wilayah pulau lain sekitar Batam. Kalau peruntukannya industri maka tarif UWT per meter Rp36 ribu, kalau peruntukan jasa dan perdagangan Rp77.700/m2, kalau pariwisata Rp39.800/m2.
Jadi kalau punya konsesi 16.583 ha (165.830.000 m2) dan diperuntukan pariwisata untuk perpanjangan per jatuh tempo 26 Agustus 2024, tarif yang harus dibayar Rp6,6 triliun, untuk industri Rp5,9 triliun, untuk jasa dan perdagangan terbesar yakni Rp12,8 triliun.
Jadi, kalau menurut saya, duit yang lagi digosok-gosok supaya keluar dari tuyul adalah Rp3,6 triliun (hitungan 2004 saat Nota Kesepakatan awal BP Batam dan MEG) dan Rp5,9 triliun/Rp6,6 triliun/Rp12,8 triliun tergantung peruntukan sesuai kesepakatan MEG dan BP Batam).
Syarat tuyul mau keluar duit adalah serah-terima lahan. Syarat serah-terima lahan adalah lahan harus kosong. Syarat harus kosong adalah tidak ada masyarakat di situ. Syarat tidak ada masyarakat adalah bla-bla-bla relokasi dsb. Syarat relokasi adalah ada duit untuk relokasi untuk bayar macam-macam termasuk biaya pembangunan rumah, biaya keamanan (biaya relokasi menurut berbagai berita Rp1,8 triliun).
Apapun itu, selama tidak kosong, tuyul tidak mau bayar.
Bagaimana biar kosong? Apakah perlu aparat turun tangan dengan memiting warga satu per satu?
Keras!
Jadi apa solusinya?
Ya, saya tidak tahu.
Yang penting bagi saya masyarakat tahu duduk-perkaranya.
Sementara kita biarkan saja pejabat pemerintahan sekarang yang si paling investasi, si paling komunikasi, si paling baik itu yang berpikir karena mereka kan kita bayar untuk berpikir dan mencari solusi (bukan untuk cari komisi, main proyek, korupsi, dan menyakiti penduduk).
Salam.
(fb)