3 PERKARA YANG MEMBINASAKAN


[HADITS]

ثَلَاثٌ مُهْلِكَاتٌ
فَشُحٌّ مُطَاعٌ، وَهَوًى مُتَّبَعٌ، وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma , ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiga yang membinasakan, tiga yang menyelamatkan, tiga kafarat dan tiga peningkat derajat.

Adapun hal-hal yang membinasakan, yaitu : (1) kekikiran yang ditaati, (2) hawa nafsu yang diikuti, (3) perasan ujub seseorang kepada diri sendiri.

Tiga yang Membinasakan

(1) Kekikiran yang Ditaati

Yakni, Kekikiran atau kebakhilan yang ditaati oleh seseorang sehingga mengakibatkan dirinya tidak menunaikan hak-hak yang harus ia tunaikan. Ar-Raghib mengatakan, “Dikhususkannya dengan ungkapan “yang ditaati” untuk memberikan penjelasan bahwa kekikiran dalam diri seseorang bukanlah termasuk perkara yang berhak untuk dicela, karena hal itu merupakan tabiat manusia, ia kikir dengan hartanya. Yang tercela adalah ketika seseorang tunduk kepada kekikirannya tersebut. (lihat, Faidhu al-Qadiir, 3/405).

Contoh kekikiran yang ditaati adalah, misalnya, seorang suami bersikap kikir atau bakhil terhadap istri dan anak-anaknya, di mana ia tidak memberikan hak-hak istri dan anak-anaknya berupa nafkah yang cukup, padahal ia mampu untuk melakukannya. Seperti juga misalnya, seorang diberikan oleh Allah harta yang melimpah, lalu ia enggan menunaikan hak-hak orang-orang fakir miskin berupa zakat. Perbuatan seperti ini merupakah perbuatan buruk.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengisyaratkan buruknya sifat ini dalam sabda beliau,

شَرُّ مَا فِى الرَّجُلِ شُحٌّ هَالِعٌ وَجُبْنٌ خَالِعٌ

“Seburuk-buruk sifat yang ada pada seseorang adalah sifat kikir yang sangat kikir dan sifat pengecut yang sangat pengecut.” (Shahih Ibnu Hibban, no. 3250)

Perbuatan buruk ini akan membinasakan pelakunya. Sebagaimana tercermin dalam firman Allah ‘Azza wajalla,

وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَبْخَلُونَ بِمَا آتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ هُوَ خَيْرًا لَهُمْ ۖ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَهُمْ ۖ سَيُطَوَّقُونَ مَا بَخِلُوا بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Dan jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat…” (Qs. Ali Imran : 180)

Dalam hadis, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَلَمْ يُؤَدِّ زَكَاتَهُ مُثِّلَ لَهُ مَالُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ شُجَاعًا أَقْرَعَ لَهُ زَبِيْبَتَانِ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ثُمَّ يَأْخُذُ بِلِهْزِمَتَيْهِ يَعْنِي بِشِدْقَيْهِ ثُمَّ يَقُولُ أَنَا مَالُكَ أَنَا كَنْزُكَ ثُمَّ تَلَا {لَا يَحْسِبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ} الْآيَةَ .

“Barangsiapa yang Allah berikan kepadanya harta, lalu ia tidak menunaikan zakatnya niscaya hartanya tersebut kelak pada hari Kiamat akan diserupakan dengan ular jantan yang rambutnya rontok karena banyak terdapat racun dan bertaring. Ular tersebut dikalungkan di lehernya pada hari Kiamat, kemudian ular tersebut memegang dengan kedua sudut mulutnya, seraya berkata,’aku adalah hartamu, aku adalah simpananmu’. Kemudian beliau membaca (ayat, yang artinya) ’Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil menyangka … Al ayat. “ (HR. al-Bukhari)

Oleh kerena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewanti-wanti umatnya dari hal buruk yang membinasakan pelakunya ini, sebagaimana hadis,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ خَطَبَ رَسُوْلُ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَقَالَ « إِيَّاكُمْ وَالشُّحَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالشُّحِّ أَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخَلُوْا وَأَمَرَهُمْ بِالْقَطِيْعَةِ فَقَطَعُوْا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُوْرِ فَفَجَرُوْا »

Dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkhutbah, seraya bersabda, “Jauhilah oleh kalian kekikiran, karena yang telah membuat orang-orang sebelum kalian binasa adalah karena kekikiran. Kekikiran itu memerintahkan mereka untuk terus bersikap bakhil, maka mereka pun berlaku bakhil. Dan, kekikiran itu pun memerintahkan mereka untuk memutus hubungan rahim, maka mereka pun melakukan pemutusan hubungan dengan orang-orang yang memiliki hubungan rahim. Dan, kekikiran diri itu pun memerintahkan mereka untuk melakukan kefajiran, maka merekapun melakukannya.” (HR. Abu Dawud, no. 1700)

Maka, waspadailah sifat kekikiran ini dalam diri Anda, peliharalah diri Anda dari hal tersebut, niscaya Anda bakal beruntung, selamat dari kebinasaan, baik di dunia maupun di akhirat. Allah ‘Azza wajalla berfirman,

وَمَنْ يُّوْقَ شُحَّ نَفْسِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَۚ

“Dan siapa yang dijaga dirinya dari kekikiran, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung …” (Qs. al-Hasyr : 9)

Saudaraku…ketahuilah bahwa di antara upaya penjagaan diri dari kekikiran adalah Anda berdoa kepada Allah agar Allah melindungi Anda dari sifat yang buruk ini, sebagaimana diteladankan oleh seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang mulia yang bernama Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu seorang yang kaya lagi dermawan, yang terpelihara dirinya dari kekikiran.  Sebagaimana yang tercermin dalam apa yang dinukilkan oleh  Muhammad bin Jarir ath-Thabariy di dalam kitab tafsirnya berikut ini,

عَنْ أَبِي الْهِيَاجِ اَلْأسْدِي، قَالَ: كُنْتُ أَطُوْفُ بِالْبَيْتِ، فَرَأَيْتُ رَجُلًا يَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ قِنِي شُحَّ نَفْسِي، لَا يَزِيْدُ عَلَى ذَلِكَ، فَقُلْتُ لَهُ، فَقَالَ : إِنِّي إِذَا وُقِّيْتُ شُحَّ نَفْسِي لَمْ أُسْرِقُ، وَلَمْ أَزْنِ، وَلَمْ أَفْعَلْ شَيْئًا، وَإِذَا الرَّجُلُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ.

Dari Abu al-Hiyaj al-Asdiy, ia berkata, “Aku pernah thawaf di Ka’bah. Aku melihat seorang laki-laki, ia berdoa, ‘Ya Allah !, peliharalah aku dari kekikiran diriku.” Ia tidak menambahkan doa yang lainnya. Maka, aku pun katakan kepadanya (mengapa Anda melakukan hal itu) ? maka ia pun menjawab,” sungguh, apabila diriku terpelihara dari kekikiran diriku, niscaya aku tidak akan mencuri, tidak pula akan berzina, dan tidak pula bakal melakukan sesuatu (yang buruk). (Abu al-Hiyaj al-Asdiy berkata) Ternyata lelaki itu adalah Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu. (Jami’ al-Bayan Fii Takwili al-Qur’an, 23/286)

(2) Hawa nafsu yang diikuti 

Sebagaimana halnya kekikiran merupakan hal buruk dan membinasakan, demikian pula halnya dengan “Hawa nafsu yang diikuti”, ini merupakan hal buruk dan akan mengantarkan pelakunya  kepada kebinasaan.  Maka dari itu, Allah ‘Azza wajalla melarang tindakan mengikuti hawa nafsu ini. Sebagaimana firman-Nya,

وَلَا تَتَّبِعِ ٱلْهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌۢ بِمَا نَسُوا۟ يَوْمَ ٱلْحِسَابِ 

“Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, kerena mereka melupakan hari perhitungan.” (Qs. Shaad : 26)

Bahkan, tindakan “mengikuti hawa nafsu” merupakan kesesatan yang sangat parah. Allah ‘Azza wajalla berfirman,

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun ? ..” (Qs. al-Qashash : 50)

Muhammad Sayyid Thanthawiy mengatakan, “Istifham, pertanyaan dalam firman Allah tersebut, sebagai peniadaan dan pengingkaran. (Maknanya) yakni, “dan tidak ada seorang pun yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dan setannya tanpa adanya  hidayah dari Allah yang menyertainya yang akan menunjukkannya ke jalan kebenaran. Karena orang yang sesat tersebut lebih menyukai kebutaan (kesesatan) daripada petunjuk, ia lebih memilih jalan kesesatan daripada jalan kebenaran.”  (at-Tafsir al-Wasith, 1/3274)

Mengikuti hawa nafsu, termasuk penyakit hati yang sangat berbahaya, ia menjadi penghalang antara pelakunya dengan hidayah. Dan, karena saking berbahayanya penyakit ini, maka Allah jadikan keberuntungan dan kemenangan pada hari Kiamat tergadaikan dengan tindakan menyelisihi hawa nafsu, sebagaimana firman-Nya,

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, Surgalah tempat tinggal(nya).” (Qs. an-Nazi’at : 40-41) (‘Adamu Ittiba’ al-Hawa, hal.2)

(3) Perasaan ujub seseorang kepada diri sendiri

Hal ini juga termasuk perkara yang membinasakan pelakunya sebagaimana halnya kekikiran yang ditaati, dan hawa nafsu yang diikuti. Maka, barangsiapa yang dirinya terhinggapinya, maka sungguh musibah besar tengah menderanya. Betapa tidak, sementara Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sedemikian kahwatir hal tersebut akan menjangkiti hati umatnya.

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ :  لَوْ لَمْ تَكُوْنُوْا تُذْنِبُوْنَ خَشِيْتُ عَلَيْكُمْ مَا هُوَ أَكْبَرُ مِنْ ذَلِكَ اَلْعُجْبَ اَلْعُجْبَ

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda, “Jika kalian tidak berdosa maka aku takut kalian ditimpa dengan perkara yang lebih besar darinya (yaitu) ujub ! ujub !” (HR Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 7255)

Hal itu karena pelaku kemaksiatan itu boleh jadi ia akan mengakui kekurangannya sehingga masih bisa diharapkan ia akan bertaubat nantinya dari kemaksiatannya, sedangkan orang yang ujub, ia tertipu dengan amalnya, sehingga taubatnya jauh dari harapan. Allah ta’ala berfirman,

وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

“Sedang mereka mengira telah berbuat sebaik-baiknya..” (Qs. al-Kahfi : 104)…(Faidhu al-Qadiir Syarh al-jami’ Ash-Shaghir, 5/331)

Oleh karenanya, Ibnul Qayyim semoga Allah merahmatinya berkata, “Tidak ada suatu perkara yang lebih merusak amalan daripada perasaan ujub dan terlalu memandang jasa diri sendiri…” (al-Fawa’id, hal. 147)

Baca juga :