Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara
"Beliau lebih bijak dalam menyikapi perbedaan", ungkapan ini sering disampaikan oleh banyak orang, saat bertemu dengan dai yang menurutnya adem dan bijak. Namun, kita perlu hati-hati, karena "bijak" menurutnya, bisa jadi sebenarnya racun.
Dalam Islam, yang dijunjung tinggi adalah al-haq (kebenaran), di atas landasan ilmu. Jika ia mengikuti kebenaran, maka ia baik. Sebaliknya, jika ia menyelisihi kebenaran, maka ia batil, meskipun terasa adem, sejuk dan bijak, menurut kacamata awam.
Islam tidak pernah mengajarkan kita, untuk menghargai dan menghormati setiap perbedaan, karena itu berkonsekuensi kita juga harus menghargai dan menghormati kekufuran, penistaan agama, penyimpangan, dan kesesatan.
Islam mengajarkan kita untuk tasamuh (menghargai dan menghormati) terhadap perbedaan pandangan, yang memiliki ihtimal (kemungkinan) kebenaran, meskipun pandangan tersebut tidak kita ikuti. Ini yang sering disebut dengan "persoalan khilafiyyah ijtihadiyyah".
Para ulama melakukan pembagian qath'i dan zhanni, untuk membedakan antara "penyelisihan terhadap kebenaran" dengan "perbedaan sudut pandang yang masih bisa diterima terhadap kebenaran". Yang menyelisihi kebenaran, harus kita tolak, dan umat Islam harus dijauhkan darinya. Sedangkan perbedaan yang sifatnya ijtihadiyyah, kita bersikap toleran terhadapnya.
Hal semacam ini, yang sering kali tidak dipahami kalangan awam, lebih-lebih kalangan awam yang suka tertipu dengan tampilan, dengan ucapan yang terdengar santun, terdengar adem, padahal hakikatnya menyesatkan.