SUATU HARI, Nasruddin Hoja, seorang tokoh sufi legendaris, mengunjungi hammam—semacam tempat mandi uap dan pemandian air hangat. Orang mengunjungi hammam jika tubuhnya letih—untuk dipijat, wajahnya dirawat dengan handuk hangat, dan sebagainya. Mungkin kira-kira semacam perpaduan antara tempat mandi uap, barber shop, dan pijat.
Anyway, mungkin karena penampilannya yang 'tidak meyakinkan' dan tampak jelas bahwa ia bukan orang kaya, Nasruddin memperoleh pelayanan yang sangat buruk di sana. Ia hanya diberi handuk lusuh dan apek, punggungnya dipijat dengan kasar dan sekenanya, menggunakan minyak pijat yang buruk, pelayanan yang ketus, dan sebagainya. Semua dilakukan secepat mungkin oleh pelayan hammam, seperti dia tidak ingin berlama-lama melayani Nasruddin.
Namun, ketika sudah selesai, Nasruddin mengambil sekeping uang emas dan menyerahkannya ke tangan si pelayan sambil tersenyum. Kemudian Nasruddin pergi.
Si pelayan terperanjat tak percaya. Ternyata orang ini adalah pelanggan istimewa. Ia salah sangka. Maka ia mengingat baik-baik wajah tamunya itu, untuk memberikan pelayanan istimewa pada kedatangan berikutnya.
Beberapa minggu kemudian, Nasruddin datang lagi. Si pelayan, melihat yang datang adalah tamu istimewanya, ia tergopoh-gopoh menyambut dengan sangat ramah dan mempersiapkan segala sesuatunya. Ia siapkan air hangat paling bening, handuk-handuk paling bersih dan wangi, berbagai wewangian dan minyak pijat terbaik. Ia juga memberikan kemampuan pijatnya yang terbaik pada Nasruddin, sampai-sampai Nasruddin tertidur.
Sampai seluruh pelayanan selesai, Nasruddin merasa sangat segar dan nyaman. Pelayanan si pelayan luar biasa ramahnya, sampai ia sendiri yang mengantarkan Nasruddin ke pintu keluar sambil membungkuk hormat.
Kemudian saat yang dinanti-nantinya tiba: Nasruddin merogoh kantong uangnya dan mengambil sesuatu di dalamnya.
Namun kali ini si pelayan terperanjat. Dari kantong uang, Nasruddin bukan mengambil sekeping emas seperti kunjungan sebelumnya, namun ia hanya mengambil sekeping uang tembaga dan meletakkannya di tangan pelayan. Ia melongo melihat keping tembaga yang diletakkan Nasruddin di tangannya.
Melihat bagaimana terkejutnya si pelayan, Nasruddin berkata kepadanya.
"Jangan terkejut begitu," kata Nasruddin menjelaskan. "Begini cara berpikirnya. Uang emas yang dulu itu, adalah untuk pelayananmu yang hari ini. Uang tembaga yang ini, adalah untuk pelayananmu yang dulu."
-Herry Mardian-