BICARA DATA, BICARA ANGKA
"Berapa tinggi badan?"
"Anaknya tinggi"
"Tingginya berapa?
"Iya pokoknya lebih tinggi dari teman-temannya."
"Iya berapa?"
"Ngga tahu, belum diukur"
"Ukur dulu, nanti kita baru nilai, dia tinggi apa ngga"
*********
"Ini tidak memabukkan"
"Berapa kadar alkoholnya?"
"Yang minum jamaah masjid, loh"
"Iya berapa kadar alkoholnya?
"Saya ngga mabuk. Teman-teman saya ngga mabuk"
"Iya berapa kadar alkoholnya, nanti kita tentukan dia memabukkan apa ngga"
"Loh kamu ngga percaya? teman-teman ini jenggotnya panjang semua. Sering pengajian. Bahkan jadi ustadznya. Bisa baca kitab kuning."
"Iya, nanti kita tentukan memabukkan apa ngga setelah tahu kadar alkoholnya."
***
Awalnya dia bilang alkohol beda dengan khamr. Ok ini masih bisa diterima. Tapi berikutnya, ia membuat asumsi khamr itu sama sekali ngga ada hubungannya dengan alkohol. Akhirnya berapapun kadar alkohol dia anggap bukan khamr, asal ngga mabuk.
Yang begini ini mulai syubhatnya masuk. Yang ketipu yang paham fiqh tapi awam kimia. Atau paham kimia tapi awam fiqh. Padahal cukup tahu fiqh dasar dan kimia dasar untuk membongkar syubhatnya.
Dia ini membual kuliah di LIPIA. Tapi ngga jelas lulus i'dad apa ngga. Monggo yang seangkatannya di Lipia bisa komentar....
Trik para pembual memang kasih gratisan ke ustadz-ustadz yang punya massa. Ustadznya dientertain, diservice dengan service excellent. Kalau sudah klepek-klepek followernya diakuisisi jadi captive market.
Klise tapi ya kultur kita begitu. Ngga enakan. Ustadznya ngga enakan. Jamaahnya ngga enakan. "Surga" buat para pembual.
-Hanif Acep-