MOCHTAR GERUNG

MOCHTAR GERUNG

Oleh: Joko Intarto 

Rocky Gerung dan Mochtar Lubis hidup pada zaman berbeda. Tapi mereka punya pikiran dan jiwa yang sama: Kritis dan berani. Lucunya, buzzer kalap menanggapi kritik Rocky. Sementara Presiden Joko Widodo tenang-tenang saja. 

Mochtar Lubis adalah wartawan dua zaman. Melalui koran ‘’Indonesia Raya’’, Mochtar dikenal tidak sekedar pengkritik pemerintah. Bahkan lebih berat dari itu. Redaksi Tempo mengutip penggambaran David T. Hill dalam buku ‘’Jurnalisme dan Politik di Indonesia’’. sebagai seorang pembangkang yang bersikap tanpa kompromi terhadap dua rezim: Orde Lama dan Orde Baru.

Mochtar jurnalis hebat dan legendaris pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Ia dikenal dengan kritiknya yang pedas, tajam, dan tanpa basa-basi terhadap kebijakan pemerintah saat itu. Karena sikap kritisnya, masuk-keluar penjara menjadi hal biasa. 

Apa yang dilakukan Mochtar pada masa itu, kurang lebih sama dengan yang dilakukan Rocky saat ini. Zaman Mochtar, kritik disiarkan melalui media cetak, yakni koran ‘’Indonesia Raya’’. Sedangkan Rocky menyuarakan kritiknya melalui berbagai forum. Netizen kemudian menyiarkan melalui kanal media digitalnya.

Mengkritik pemerintah pada dasarnya boleh-boleh saja. Undang-undang menjamin kebebasan bersuara semua warga negaranya. Mengutip artikel I Gede Febri Putra pada situs Ombudsman edisi 25 Februari 2021, Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan dalam pidatonya agar masyarakat lebih aktif menyampaikan kritik kepada pemerintah. 

Presiden menyatakan semua pihak harus menjadi bagian dari proses untuk mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, ataupun potensi maladministrasi dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan.

Pernyataan Presiden ini kemudian ramai direspon oleh para tokoh dan netizen di Indonesia. Salah satunya oleh Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla. Jusuf Kalla mempertanyakan bagaimana caranya agar masyarakat bisa mengkritik pemerintah tanpa harus dipanggil polisi?

Jusuf Kalla menyelipkan salah satu contoh untuk mendukung pertanyaan tersebut seperti hal yang dialami oleh Kwik Kian Gie, Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri era Presiden Abdurrahman Wahid. Kwik Kian Gie sebelumnya mencuit lewat akun Twitter-nya, @kiangiekwik bahwa dirinya takut mengemukakan pendapat yang berbeda meski bermaksud baik, karena buzzer bisa menyerang pribadi si pengemuka pendapat. 

Ada dua hal yang tersurat dari kutipan artikel di atas: Polisi dan buzzer. Berurusan dengan polisi berarti harus siap-siap berakhir di bui. UU ITE merupakan senjata sakti. Keampuhannya sudah terbukti. Berurusan dengan buzzer berarti harus siap-siap di-bully. Risiko berhadapan dengan polisi dan buzzer membuat warga negara enggan mengkritisi kebijakan pemerintah, meski mereka tahu kebijakan itu salah.

Sikap kritis warga negara terhadap pemerintah yang demokratis sebenarnya sangat perlu. Dengan adanya kritik, pemerintah bisa melakukan koreksi atas kebijakan yang dijalankan sehingga pemerintahan semakin efektif.  

Menurut UUD, tugas mengkritisi pemerintahan merupakan tanggung jawab para anggota DPR. Menjadi pertanyaan, mengapa kritik harus dilakukan Rocky dari luar gedung parlemen? Kalau parlemen bisa menjalankan fungsinya, mungkin Rocky akan sibuk menulis buku. Menjadi buzzer politik menjadi tidak menarik lagi.(jto)

Baca juga :