KENAPA PEMILIH JOKOWI TIDAK SELURUHNYA MENDUKUNG GANJAR?
Oleh: Tarli Nugroho
"Pembelotan" sebagian bekas eksponen pendukung Presiden Joko Widodo kepada Calon Presiden Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto yang marak terjadi belakangan sepertinya masih belum dianggap serius oleh elite PDIP. Padahal, berbagai manuver itu jelas akan punya dampak terhadap bagaimana pertarungan Pilpres mendatang.
Saya melihat, ada dua penyebab kenapa elite PDIP masih belum melihat soal migrasi pendukung ini sebagai persoalan serius.
Pertama, elite PDIP mungkin terlampau percaya diri kepada hasil survei yang selalu menempatkan partainya sebagai pemenang pemilu legislatif, seolah kemenangan itu akan otomatis mengantarkan mereka kembali jadi pemenang Pilpres 2024. Sikap percaya diri ini sebenarnya tidak cukup beralasan. Sebab, Pileg dan Pilpres adalah dua kamar pemilihan yang berbeda. Perilaku pemilih keduanya juga berlainan.
Pada Pemilu 2014, pemilih PDIP “hanya” 23,7 juta orang, sementara pemilih Jokowi mencapai 70,9 juta orang. Artinya, yang telah memenangkan Presiden Jokowi dalam dua pemilu lalu jelas bukan hanya pemilih PDIP. Meskipun pemilih PDIP mungkin otomatis memilih Jokowi, namun pemilih Jokowi tidak semuanya adalah pemilih PDIP.
Hal itu juga berlaku untuk Pilpres 2024 nanti. Pemilih PDIP mungkin akan cenderung memilih Ganjar Pranowo sebagai presiden. Namun, bekas pemilih Jokowi tidak akan otomatis melakukannya.
Poin itupun masih perlu ditambahi catatan: penunjukkan Ganjar sebagai capres sudah terbukti tidak didukung bulat oleh seluruh elite PDIP. Ini, misalnya, bisa dilihat dari munculnya isu Dewan Kolonel, serta pernyataan sejumlah elite PDIP yang pernah men-downgrade kandidasi Ganjar pada tahun 2022 lalu.
Artinya, dukungan elite PDIP terhadap Ganjar berbeda dengan dukungan terhadap Jokowi dalam dua pemilu sebelumnya, yang bersifat bulat.
Kedua, sesudah dua kali memenangi Pileg dan Pilpres, elite PDIP kembali mengidap megalomania. Mereka menjadi angkuh, sehingga cenderung mengecilkan dan menganggap remeh partai serta kekuatan politik lain. Bagaimana elite PDIP memperolok dan mengecilkan PSI serta beberapa kelompok eks relawan Jokowi dalam soal kandidasi Ganjar, misalnya, mewakili hal itu.
Belakangan, sesudah mengajukan kadernya—Ganjar—sebagai calon presiden, PDIP juga tampak sekali ingin mendikte proses penentuan calon wakilnya, seolah mereka tidak butuh partai lain. Bagaimana mereka “mengecilkan” dukungan PPP yang juga berusaha menyorongkan Sandiaga Uno sebagai calon wakil Ganjar, sebagaimana terlontar dalam sejumlah pernyataan elite PDIP, jelas menunjukkan sikap politik yang angkuh dan arogan.
Tentu saja, untuk Pilpres 2024 PDIP secara formal bisa menyorongkan calon presiden dan calon wakil presidennya sendirian, tanpa perlu dukungan partai lain. Namun, terus menerus mempertontonkan keangkuhan dalam komunikasi politik jelas bisa mendatangkan kerugian bagi PDIP.
Banyak elite PDIP mungkin lupa jika sikap angkuh dan megalomania semacam itu pernah menggagalkan jalan ketua umum mereka ke kursi kepresidenan dalam pemungutan suara Sidang Umum MPR tahun 1999. Sebagai pemenang Pemilu dengan perolehan 35,6 juta suara (33,74 persen), dan menguasai 154 kursi parlemen (dari 462 kursi), PDIP telah bersikap high profile. Mereka cenderung menutup pintu negosiasi dan komunikasi dengan partai lain.
Hasilnya?
Megawati bisa dikalahkan oleh K.H. Abdurrahman Wahid yang partainya hanya punya 51 kursi saja.
Dengan dua catatan tadi, PDIP mestinya segera mengevaluasi gaya komunikasi politiknya. Mereka harus menyadari bahwa gelombang migrasi eks relawan Jokowi ini pada dasarnya adalah representasi dari gelombang migrasi pemilih Jokowi pada Pilpres yang akan datang.
Pertanyaannya kemudian, kenapa pemilih Jokowi tidak akan seluruhnya mendukung Ganjar, dan belakangan bahkan terlihat lebih cenderung akan memilih Prabowo?!
Saya kira lagi-lagi masalahnya adalah pada gaya komunikasi politik yang angkuh dari elite PDIP. Sepuluh tahun terakhir kita mendengar Ibu Mega selalu menyebut Presiden Jokowi sebagai “petugas partai”. Apapun maksud dan penjelasan dari labeling itu, belum pernah terjadi sebelumnya seorang Presiden Republik Indonesia diframing oleh sebutan yang cenderung men-downgrade tersebut.
Presiden, dalam konstitusi kita, adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Ia adalah pemimpin sekaligus simbol nasional. Jadi, ia bukan hanya simbol penting bagi para pemilihnya saja.
Para pemilih PDIP mungkin tidak akan mempersoalkan labeling “petugas partai” tersebut. Namun, para pemilih Jokowi yang jumlahnya hampir empat kali lipat pemilih PDIP itu mungkin punya pendapat lain. Mereka bisa saja tidak terima jika tokoh dan idolanya di-downgrade semacam itu. Inilah titik dimana para pemilih Jokowi bisa bersikap antipati terhadap PDIP.
Perlu dicatat, meskipun Jokowi berangkat meniti karirnya melalui PDIP, mulai dari jenjang walikota, gubernur, hingga presiden, namun Jokowi bukanlah kader partai. Ia hanyalah sekadar penumpang yang naik di tengah jalan dalam bus besar PDIP.
Di sisi lain, Ganjar bukan hanya sepenuhnya kader PDIP, melainkan aktivis GMNI semasa kuliahnya. Tidak perlu diceritakanlah bagaimana relasi GMNI dengan Soekarnoisme, PDI, dan kini PDIP. Artinya, bisa dikatakan kalau Ganjar adalah anak kandung dan darah dagingnya PDIP.
Di sinilah problematisasi bekas para pemilih Jokowi muncul. Jika Jokowi saja yang bukan kader murni PDIP diperlakukan sebegitunya (baca: di-PETUGAS-kan) oleh partainya, maka apa yang terjadi seandainya Ganjar jadi presiden?! Dia tentu akan ditelan bulat-bulat oleh partainya.
Sebagai bukan kader murni, Jokowi masih bisa berkelat-kelit jika hendak didikte, atau melakukan sejumlah “perlawanan kecil”; namun bisakah seorang kader murni seperti Ganjar melakukan hal yang sama jika ia ditekan partainya?!
Inilah, saya kira, yang telah membuat terjadinya gelombang “pembelotan” eks pendukung Presiden Jokowi kepada Prabowo. Mereka tidak memilih Ganjar yang disorongkan PDIP karena mereka melihat Ganjar mungkin akan ditempatkan lebih rendah dari sekadar “petugas partai” jika kelak jadi presiden.
Jokowi sendiri, sebagai politisi Jawa, tentu saja tidak akan mengekspresikan penolakan atau perlawanannya terhadap label yang cenderung merendahkannya tadi. Orang Jawa memang selalu sungkan untuk bersikap konfrontatif. Mereka lebih suka mengekspresikan dirinya secara simbolik. Dan gelombang dukungan eks relawan Jokowi kepada Prabowo tadi, saya kira mewakili bahasa simbolik tersebut. (TN)