Kekhalifahan Turki Utsmani adalah salah satu wilayah paling toleran di dunia pada masanya. Terlepas dari sejumlah kekurangan saat negara mulai melemah.
Ketika di Eropa terjadi pemaksaan agama sistematis, pengusiran dan pembunuhan, perang sektarian, perang denominasi, perang fatwa sesat. Di Turki Utsmani non Muslim diindungi dengan membayar pajak atau jizyah.
Mereka bebas beribadah dan berbisnis. Kaum Yahudi paling menikmatinya. Lepas dari wilayah Romawi lalu ke Islam itu seperti bebas dari penjara.
Hanya saja dalam hal moral mereka harus menyesuaikan standar moral Muslim, kecuali ada aturan sendiri dalam agamanya.
Bahkan dalam aturan internal komunitas, non Muslim memiliki kedaulatannya yang tidak bisa dicampuri oleh Sultan sekalipun.
Tempat ibadah bebas dibangun, asal tidak di tempat-tempat Muslim. Dalam artian, non Muslim tidak boleh mensyiarkan agamanya kepada Muslim.
Misionaris hanya dibolehkan di Utsmani asalnya menarget internal agama mereka sendiri, misalnya misionaris denominasi A boleh menarget kelompok B untuk masuk alirannya.
Menurut versi Utsmani, sebagian umat Kristen etnis Armenia lebih memilih mencari suaka kepada Muslim daripada tinggal di bawah Byzantium. Alasannya di Byzantium banyak panglima militer kejam, korup dan tidak aman, ditambah pajak yang sangat mencekik.
Sementara di bawah Utsmani, jizyah untuk orang kaya hanya setara 7 gram emas atau 500 Dollar per tahun. Fakir-miskin, orang cacat, orang sakit, lumpuh, gila, bayi bahkan tidak perlu bayar apa-apa.
Sistem Islam tentu berbeda dengan sistem sekuler modern. Dalam Islam negara harus melayani penduduk dengan sebaik-baiknya, seadil-adilnya, sementara penguasa harus sekecil mungkin mengambil harta masyarakat, kecuali yang diwajibkan agama. Sultan atau Emir harus bisa mencari uang sendiri di luar pajak. Kalau cuma bisa memajak berati zhalim, apa bedanya dengan pemalak.
Sistem Islam juga secara jantan menyatakan tak ada kesetaraan, melainkan ditempatkan dalam hak dan kewajibannya masing-masing. Dimana Islam sebagai core negara harus dihormati.
Adapun dalam sistem sekuler modern, hal-hal yang dijanjikan adalah kesetaraan, tanpa diskriminasi, demokrasi, inklusif dan 1000 janji lain, sementara negara menarik pajak > 30% dari gaji rakyatnya. Meski demikian apa yang dijanjikan belum tentu bisa dinikmati. Walau sudah bayar pajak, rakyat tetap harus berjuang sendiri supaya haknya didengar.
Walau mengklaim kesetaraan, kenyataannya tidak bisa, kaum kulit putih Eropa tetap merasa mereka adalah core negara yang harus diprioritaskan. Konflik masalah imigran, konflik etnis, ketidakadilan hukum sistematis tetap ada.
-Pega Aji Sitama-