Moratorium Lintah Darat Digital
Oleh: Ronny P Sasmita
Pencabutan moratorium pinjol harus dipikirkan ulang. Lintah darat digital ini telah merugikan masyarakat.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berencana mencabut kebijakan moratorium bisnis pinjaman online (pinjol), yang telah diberlakukan sejak 2020 karena banyaknya aduan masyarakat. Menurut OJK, ada beberapa alasan moratorium pinjol sudah bisa dihentikan. Pertama, jumlah penyedia pinjol ilegal sudah menurun, meskipun tidak bisa diberantas 100 persen. Kedua, Otoritas telah mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 10/POJK.05/2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi.
Ketiga, OJK sudah memperbaiki tata kelola perusahaan peer-to-peer (P2P) dengan menggencarkan pemeriksaan 102 perusahaan pinjol yang terdaftar di OJK. Keempat, OJK tengah menyiapkan sistem perizinan terintegrasi yang di dalamnya terdapat modul perizinan P2P lending.
Kementerian Keuangan mendukung rencana OJK tersebut. Menurut Suahasil Nazara, Wakil Menteri Keuangan sekaligus Komisioner OJK, rencana penghentian moratorium bisa diwujudkan karena sudah ada kelembagaan yang jelas di OJK yang khusus mengurus pinjol. Hal itu dapat terwujud lewat dua kepala eksekutif baru OJK yang proses seleksinya kini masih berjalan. Dua posisi itu adalah Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan; serta Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto. Kedua posisi itu diharapkan dapat mendorong pertumbuhan sektor teknologi finansial.
Sudut pandang OJK itu masih berskala domestik. Di Cina, perusahaan pinjol menjelma perbankan bayangan (shadow banking), yang justru berpotensi mengalami "gelembung" (bubble), kemudian akan memicu krisis dan merugikan banyak pihak. Pada 2018, unjuk rasa besar para investor pinjol pecah di beberapa kota besar di Cina karena mereka merasa dirugikan oleh perusahaan-perusahaan pinjol. Dana yang mereka tanamkan di platform P2P lending tidak kembali alias lenyap bersama perusahaan-perusahaan pinjolnya.
Model bisnis pinjol yang sangat mencekik membuat para nasabah kredit mikro lambat laun mengalami gagal bisnis dan berhenti membayar tagihan. Hal ini mengakibatkan perusahaan-perusahaan pinjol mendadak mengalami krisis likuiditas, bahkan bangkrut (insolvent).
Para investor pinjol, yang dananya diganjar dengan "return" yang sangat tinggi karena pengenaan bunga kredit tinggi, mendadak kehilangan investasi sekaligus prospek pendapatan lantaran sebagian besar perusahaan pinjol bangkrut. Pendiri dan manajemennya biasanya kabur membawa sisa dana. South Cina Morning Post mencatat, pada 2018, tak kurang dari 800 miliar yuan atau setara dengan US$ 122,7 miliar dana milik investor P2P lending Cina menguap begitu saja alias tak kembali.
Krisis pinjol itu membuat pemerintah Cina sangat waswas saat anak usaha Alibaba, Ant International, melakukan penawaran perdana saham (IPO) pada 2020. IPO tersebut akhirnya dihentikan hingga Ant memenuhi segala prasyarat yang diminta otoritas Cina.
Dari eksposur laporan keuangan Ant International yang diumumkan sebelum IPO dijelaskan bahwa komposisi asetnya sangat berisiko. Aset yang dipegang Ant hanya 2 persen. Sebanyak 80 persen dijual ke perbankan lokal tempat Ant beroperasi dan 18 persen sisanya digunakan Ant untuk mendapatkan dana dari pasar uang.
Berkaca pada krisis pinjol pada 2018, otoritas Cina waswas karena, jika Ant Internasional kolaps, bank-bank dan pelaku pasar uang yang telah membeli aset finansialnya akan terseret. Karena itu, otoritas Cina meminta Ant memenuhi syarat minimal 20 persen aset finansialnya dipegang sendiri.
Saya cukup yakin di Indonesia eksposur keuangan pinjol pun demikian. Dana yang didapat perusahaan pinjol, baik langsung maupun tidak, sebagian besar berasal dari sektor perbankan konvensional. Sebab, dari sisi pengenaan bunga, investasi di perusahaan pinjol sangat menjanjikan.
Bunga kredit di sektor perbankan konvensional sangat terikat dengan suku bunga bank sentral. Maka, kisaran bunga kredit di sektor perbankan paling banter 13 persen per tahun. Sangat bisa dibayangkan, dengan pengenaan bunga kredit mikro yang sangat besar, yang bisa diterapkan perusahaan pinjol sampai 80 persen setahun, bisnis pinjol sangatlah menggiurkan.
Perusahaan pinjol bisa dengan mudah menawarkan "return" investasi kepada pemodal, katakanlah perbankan, sekitar 20-30 persen—jika bunga yang dikenakan ke nasabah 80 persen—karena selisihnya masih sangat besar bagi perusahaan pinjol sendiri.
Dengan demikian, perusahaan pinjol menawarkan peluang investasi yang sangat menguntungkan bagi para investor. Namun persoalan pinjol bukan semata urusan bisnis yang menggiurkan. Bukan pula sekadar masalah kesehatan kredit, prosedur, dan tata kelola kredit mikro perusahaan pinjol. Persoalannya lebih buruk dari itu.
Perusahaan pinjol adalah manifestasi dari "digitalisasi bisnis lintah darat", yang jelas-jelas ujungnya merugikan masyarakat. Jika kreditnya tidak bermasalah, tagihan akan berjalan lancar dan bunga yang disedot dari keringat para nasabah sangatlah besar. Jumlahnya sungguh sangat tidak bermoral.
Model bisnis lintah darat ini lebih buruk dari model bisnis "student loan" di Amerika Serikat. Tumpukan kredit pendidikan tersebut kini menjadi salah satu isu penting di Negeri Abang Sam karena mantan mahasiswa masih terus dibebani kewajiban melunasi utang pendidikannya bertahun-tahun setelah mereka lulus kuliah. Sampai awal tahun ini, total kredit pendidikan di sana mencapai US$ 1,7 triliun dan beban rata-rata per orang sekitar US$ 28 ribu (Rp 480 juta).
Kredit pendidikan adalah produk perbankan konvensional, tapi jeratnya kepada generasi muda Amerika sangat terasa. Akibat tagihan yang terus menjadi beban bertahun-tahun setelah menuntaskan perkuliahan, generasi muda di sana bernasib tak berbeda dengan generasi muda kita di sini. Mereka kekurangan dana untuk berinvestasi buat hari tua dan asuransi kesehatan, membeli rumah, dan membiayai pernikahan; serta kekurangan dana kas cadangan untuk keadaan darurat. Dengan kata lain, generasi muda di sana dan di sini akhirnya ada dalam persoalan yang sama, yakni rentan di bidang keuangan.
Apalagi jika bunganya menggila seperti pinjol. Generasi muda kita diberi iming-iming kemudahan akses yang sangat tidak berbatas, tapi masa depan keuangannya tergadaikan, data-data pribadinya tersandera, mentalitas konsumtifnya semakin menggila, dan, jika kreditnya macet, relasi sosial akibat ulah penagih utang terancam rusak.
Saya tentu sepakat jika dikatakan bahwa literasi teknologi finansial dan keuangan sangat dibutuhkan. Namun persoalan itu hanya atributif sifatnya. Model bisnis "digitalisasi lintah darat" adalah inti persoalannya karena itu haruslah dievaluasi sedalam-dalamnya karena terkait dengan masa depan ekonomi generasi muda dan masa depan "gaya hidup" yang baik.
Gaya hidup yang dibawa pinjol adalah gaya hidup konsumtif tanpa tedeng aling-aling. Hal itu membuat keringat dan kerja keras generasi muda kita tidak lagi menjadi emas yang akan menopang masa depan mereka, melainkan justru menjadi agunan yang akan terus menyandera gerak langkah mereka.
Model bisnis lintah darat digital ini harus dijinakkan dan diarahkan ke sektor produktif yang aman. Bunga tinggi harus dievaluasi, jaminan data pribadi harus ditingkatkan, ulah penagih utang harus juga ditertibkan, serta literasi digital yang positif untuk generasi muda kita harus benar-benar disiapkan secara matang dan komprehensif.
Karena itulah perkara pinjol dengan bunga yang menggila tersebut harus dibatasi dan diatur seketat mungkin. Jika tidak, hidup yang menanti generasi muda kita adalah hidup pahit ala kelas menengah ke bawah di Amerika, yang mayoritas terikat pada pembayaran satu tagihan ke tagihan lain setiap bulan. Sangat miris, bukan? Apakah ini yang ingin dicapai oleh OJK dan Kementerian Keuangan yang berniat menghentikan moratorium perusahaan pinjol? Jika demikian, itu tentulah sangat menyedihkan.
(Sumber: Koran Tempo, Senin, 7 Agustus 2023)