Rekayasa Gamifikasi Ojol:
Memaksa Mitra Bekerja Lebih Lama & Giat, Bikin Sengsara Level Terendah, dan Memecah Solidaritas
Gamifikasi atau sistem pelevelan ojek online membuat para pengemudi terkotak-kotak. Sistem tersebut juga merusak perekonomian para pengemudi karena pendapatan turun drastis bagi yang berada pada level paling rendah.
Eko tertidur pulas saat waktu masih menunjukkan pukul 10.30. Lalu lalang kendaraan yang melintasi jalanan di kawasan Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) seolah sama sekali tak mengganggu tidurnya.
Ketika bangun, ia bolak-balik mengecek gawainya. Sejak pukul 09.00 ia sudah mengaktifkan aplikasi ojek onlinenya, namun tak ada satupun orderan yang masuk dari pelanggan alias anyep.
“Biasane angel semampir, saiki malah semampir terus (biasanya susah beristirahat, sekarang malah banyak istirahatnya),” kata Eko ditemui pada 15 Juni 2023.
Pangkal dari sepinya orderan itu karena akun GoJek Eko hanya level basic atau paling dasar, sehingga persentase mendapatkan konsumen lebih sedikit. Akun basic kalah dengan level silver, gold, dan platinum. Meski demikian, ada pula level basic yang pendapatnya dalam sehari bisa lebih dari 10 pelanggan, jika mujur.
Selain GoJek, Grab juga membuat pemeringkatan serupa. Grab memakai istilah yang dimulai dari anggota, pejuang, satria, dan jawara sebagai level teratas.
Eko sudah menjadi pengemudi ojol sejak tahun 2017. Saat itu GoJek baru setahun ada di Yogyakarta. Itu adalah masa kejayaan ojol. Pendapatan dan bonus yang fantastis membuat banyak orang tergiur menjadi ojol. Eko sempat merasakan masa kejayaan itu, pendapatannya kala itu ia sebut lebih dari cukup untuk menghidupi istri dan seorang anak. Eko tak ragu menjadikan ojol sebagai sumber penghasilan utama.
Kondisi berubah tiga tahun terakhir. Saat pandemi aktivitas ojol nyaris mati, dan kini model pelevelan ojol mengubah nasibnya 180 derajat, orderannya benar-benar sepi. Bahkan untuk sekadar mendapat uang ongkos BBM dan operasional saat keluar rumah pun ia menyebut cukup berat.
Eko menggunakan dua aplikasi di gawainya; GoJek dan Grab. Dua aplikasi itu ia tunggui berjam-jam tak kunjung mendapatkan penumpang. Saking sepinya, Eko hanya memilih layanan tertentu yang diaktifkan.
“(Layanan) yang saya hidupkan cuma GoRide dan GoSend, kalau GoFood nggak saya hidupkan. Milih yang tarifnya (konsumennya) lumayan,” kata dia.
Ia hanya memilih layanan tertentu berdasar nominal tarif yang harus dibayar pelanggannya. Ia merasa tarif GoRide dan GoSend lebih masuk akal. Biasanya Rp8 ribu hingga di atas Rp10 ribu per pelanggan. Eko menjadi besaran tarif itu sebagai patokannya setiap akan berangkat bekerja. Dengan hitungan itu ia berharap bisa menutupi ongkos membeli BBM, makan di luar, dan belanja dapur rumahnya di hari itu juga.
“Kalau ibaratnya ya keluar itu bisa buat beli bensin, biaya di luar, sama blonjo (belanja kebutuhan dapur),” kata lelaki 37 tahun itu.
Meski sudah dikalkulasi dengan baik, pendapatan Eko masih terbilang mepet. Sampai suatu ketika Eko terpaksa menggadaikan akun GoJek. Ia mencari orang yang bersedia menjadi tempat menggadaikan akun GoJek miliknya. Ia menyebut orang tersebut dipilih karena kenal dekat dan bisa dipercaya. Setelah berunding ia sukses menggadaikan akunnya sebesar Rp2 juta untuk masa gadai 4 bulan.
Baginya, saat itu tak ada cara lain selain menggadaikan akun. Ia sepenuhnya menyadari risiko menggadaikan akun itu. Apalagi bila ia salah pilih orang sebagai tempat menggadai, bukan tak mungkin akunnya akan disalahgunakan, dan berujung sanksi pemutusan mitra oleh pihak aplikasi.
“Tapi saat itu memang tidak ada pilihan. Memang sedang butuh duit jadi akun (GoJek) saya gadaikan,” ungkapnya.