[PORTAL-ISLAM.ID] Namanya Katrin Bandel. Gaya bicaranya santun. Jauh dari kesan tokoh-tokoh sejarah Jerman. Meski ia keturunan dan berdarah asli Jerman, kepalanya tertutup jilbab. Ia tak lain seorang bule mualaf yang menjadi buah bibir pegiat sastra maupun budayawan.
Ia perempuan kelahiran Wuppertal, Jerman. Ia menempuh studi gelar doktoral di Hamburg, Jerman, tahun 2004. Ia telah melahirkan beberapa karya tulis tentang kritik sastra. Ia menjadi pengajar di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Dikutip dari situs merahputih.com, Ia menceritakan ihwal pilihannya menjadi muslimah. Baginya, menjadi muslimah adalah kehendak hati. Tidak atas perintah ataupun rayuan orang di sekitarnya. Ia menjelaskan, suatu hal yang membuat hatinya tenang sehingga muncul kehendak hati tersebut ialah murotal (bacaan Al-Quran). Suatu waktu, ia pernah mendengarkan murotal tanpa sengaja.
"Memilih masuk Islamnya, tidak ada peristiwa apa-apa. Muncul dari dalam diri sendiri. Dari dalam hati," katanya dengan gaya bicaranya yang ramah ketika ditemui merahputih.com di rumahnya di Yogyakarta.
Katrin mulai memasuki "dunia Islam" akhir tahun 2010. Sejak saat itu ia mulai mencari tahu sendiri seperti apa "agama murotal" itu hingga membuat hatinya tenang. Ia pun belajar tentang Islam sendiri. Itu ia lakukan diam-diam, tanpa seorang pun yang tahu. Begitu pula saat mengucap syahadat. Ia memilih bersyahadat sendiri, tanpa saksi.
"Setelah mengucap itu, ada teman saya, bilang, harusnya ada saksi. Tapi (alm) Mbah Zainal (red, ulama Pondok Pesantren Al Munawir, Krapyak, Jogja), tidak ada saksi juga sah. Karena hukumnya sunah," katanya.
Baginya, syahadat merupakan komunikasi personal dengan Sang Khalik. Ia sadar, menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW akan mendapat banyak tantangan. Terutama datang dari keluarga besarnya di Jerman. Tantangan ini seperti apa yang terjadi pada dirinya saat mudik Lebaran tahun 2016. Ia pernah menuliskan sekelumit pengalaman pahitnya itu di media sosial facebook, yang kemudian diangkat kembali oleh media online nonmainstream.
"Sejauh menjadi Muslimah, dan lebih-lebih sejak berjilbab, pengalamanku semakin unik," katanya dalam tulisannya tentang perjalanan mudik ke Jerman. Keluarga besarnya saat ini semua masih bermukim di Jerman. Semua anggota keluarganya tidak mengakui adanya Tuhan.
"Ibu saya dari Belgia, yang awalnya Katolik. Tapi kemudian tidak beragama. Keluarga besar saya atheis," ujarnya.
Apa pun tantangan itu, ia tetap melaluinya dengan tenang. Hidup tanpa Tuhan begitu sepi dan sakitnya. Jadi manusia ber-Tuhan kini menjadi jalan hidupnya menuju ketenangan.
"Terserah Allah hidup ini mau dibawa ke mana," pungkasnya.
[MP]