[PORTAL-ISLAM.ID] Analis komunikasi politik Universitas Nasional (Unas) Selamat Ginting mengungkapkan, pasangan Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) hampir pasti menjadi skema akhir formasi bakal calon presiden dan wakil presiden (capres/cawapres) dari Koalisi Perubahan dan Persatuan (KPP).
Hal ini usai Anies dan tim delapan menghadap tiga tokoh puncak dari KPP, yakni Ketua Umum Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Surya Paloh; Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY); dan Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera Salim Segaf Aljufri, pada Jumat (25/8) dan Sabtu (26/8).
“Pertemuan Anies, tim delapan dengan tiga pucuk pimpinan KPP merupakan strategi komunikasi politik untuk menduetkan Anies dengan AHY sebagai skema akhir sekaligus menunjukkan KPP semakin konsolidatif menuju fase berikutnya, yakni deklarasi Anies-AHY,” kata Selamat Ginting kepada FNN di Jakarta, Sabtu (26/8/2023).
Menurut Selamat Ginting, pertemuan Anies didampingi tim delapan dengan Surya Paloh, SBY, dan Salim merupakan strategi komunikasi politik jelang pengumuman pasangan capres dan cawapres KPP. Strategi komunikasi politik yang dilakukan dalam dua hari itu, bukan lagi gimmick (kemasan) politik.
“Itu sudah riil politik, tinggal ketuk palu, setelah melewati dinamika politik yang sangat keras,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unas itu.
Siap Tarung
Dikemukakan, bakal calon wakil presiden yang sebelumnya beredar untuk mendampingi Anies, kini hanya tinggal kemasan saja. Mengingat waktu pendaftaran capres dan cawapres tinggal 2,5 bulan lagi. Beberapa kandidat dari unsur Nahdlatul Ulama (NU), seperti Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar, Zannuba Ariffah Chafsoh (Yeni Wahid), kini tidak lagi mengemuka dalam bahasan koalisi tersebut.
“Saya menduga Partai Demokrat akan memanfaatkan momentum HUT partai pada 9 September, sebagai unjuk kekuatan duet Anies-AHY siap bertarung menghadapi kontestasi pilpres 2024,” ujar Ginting.
Ginting melihat secara ril politik Anies diasosiasikan sebagai tokoh yang disorongkan Partai Nasdem. Sedangkan AHY merupakan representasi dari Partai Demokrat. Sementara PKS akan kebagian dalam pembagian kekuasaan di posisi strategis dalam kabinet, apabila koalisi ini menang dalam pilpres.
“Itulah konsensus politik dalam mengatasi konflik politik di koalisi tersebut. Paloh, SBY, dan Salim adalah king maker dalam koalisi di tengah tarik-menarik kepentingan politik yang menguras energi,” ungkap Ginting.
Ganjar dan Prabowo
Menurutnya, pertentangan yang keras antara dua poros pendukung bakal capres Ganjar Pranowo dengan Prabowo Subianto, justru dimanfaatkan koalisi perubahan untuk semakin konsolidatif mengusung Anies dan AHY.
Koalisi yang mengusung Prabowo, belum menemui titik terang mencari bakal cawapres. Terutama setelah masuknya Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Apalagi koalisi ini sebelumnya digagas Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
“Satu hari jelang penandatanganan perjanjian koalisi antara Golkar dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), ternyata Golkar balik badan. Apakah ini pertanda Golkar akan mendapatkan jatah bakal cawapres? Sangat mungkin terjadi,” ungkap Ginting.
Apalagi, lanjut Ginting, Gerindra dan Golkar merupakan partai tiga besar dalam pemilu 2019 lalu. Sehingga Golkar merasa lebih memiliki hak dan nilai jualnya lebih tinggi daripada partai lainnya.
“PAN pun merasa bahwa elektabilitas Erick Thohir yang diusungnya jauh lebih tinggi darupada Airlangga dari Golkar maupun Muhaimin dari PKB. Sementara Muhaimin merasa PKB merupakan penggagas koalisi bersama Gerindra, sedangkan Golkar dan PAN sebagai pendatang akhir. Ini menjadi kerumitan tersendiri bagi koalisi pendukung Prabowo,” ujar Ginting.
Mega dan Jokowi
Sedangkan koalisi pendukung Ganjar dari PDIP, lanjut Ginting, kini seperti kesepian. Memang PDIP punya modal 128 kursi, dan bisa melaju sendirian, tanpa harus berkoalisi dengan partai politik lainnya. Namun kondisi ini mengandung risiko politik tinggi jika harus berjalan sendirian.
“Memang ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang mendukung Ganjar, tapi situasi partai itu rawan hukum, karena ketua umumnya masih pelaksana tugas. PPP berpotensi digugat, maka koalisi dengan PPP bisa menimbulkan masalah hukum. Sehingga elite PDIP juga mempersilakan jika PPP akan keluar koalisi. Ini sama juga PDIP mengusir PPP secara halus,” ungkapnya.
Menurutnya, upaya PDIP mencari teman koalisi dari partai politik yang berada di parlemen, nyaris sudah tertutup. Semua partai sudah berada dalam tiga koalisi, kecuali ada dinamika politik yang sangat luar biasa dan bisa memporakporadakan formasi politik. Waktu pendaftaran sudah semakin dekat pada 19 November 2023 mendatang, sehingga koalisi Ganjar jauh lebih sulit untuk mencari pasangan.
“Komunikasi politik Ketua Umum PDIP Megawati Sukarnoputri dengan Presiden Jokowi berlangsung tidak mulus. Tidak seperti biasanya, Megawati sudah turun gunung ke Semarang hadiri apel deklarasi Ganjar, tanpa kehadiran Jokowi sebagai kader banteng,” pungkas Ginting. (fnn)