Artikel Kompas (29/8/2023) berjudul "Mereka yang tidak merujuk Jokowi" menarik sekaligus jadi bukti tak semua orang Indonesia sibuk membebek "tegak lurus Jokowi", yang mana spanduk, baliho, dan tagarnya ramai belakangan ini.
Sastrawan Iwan Simatupang menulis cerpen "Tegak Lurus dengan Langit" (1982), mengapa sekarang kita turun-kelas jadi tegak lurus sama manusia?
Politisi pula! (masihlah mending jika tegak lurus Konstitusi)
Menurut Kompas, 18,1% responden pasti memilih capres yang direkomendasikan Jokowi.
Tapi ada lebih banyak, yakni 49,7%, yang masih mempertimbangkan, pikir-pikir, dan menggantungkan putusan.
Anda mungkin mengira mereka yang tidak merujuk Jokowi pasti pendukung perubahan.
Mungkin demikian.
Ada sepertiga responden (32,6%) yang pasti tidak akan memilih siapapun yang direkomendasikan Jokowi.
Tapi yang buat saya tertarik, Kompas menulis: "... semakin kritis seseorang, yang ditandai oleh semakin tingginya jenjang pendidikannya, dan semakin berdaya secara ekonomi dirinya maka semakin enggan menjadikan Jokowi sebagai rujukan politik."
Lalu, "... tampak jelas jika sejauh ini Jokowi lebih banyak dijadikan sandaran politik bagi kalangan yang berstatus sosial ekonomi menengah ke bawah."
Angkanya begini: dari seluruh kalangan yang tidak mengindahkan Jokowi sebagai patron politik, 26,1% berpendidikan rendah dan 42% berpendidikan tinggi, minimal sarjana.
Di titik ini kita mesti kritis: jadi siapakah sesungguhnya para elite yang teriak-teriak tegak lurus Jokowi itu? Apa motif dan tujuan di balik itu? Apa untungnya buat kepentingan umum?
Kita tentu bisa mencium ada intensi politik di balik itu.
Ada tujuan yang mau dicapai secara elektoral.
Namun, yang jauh lebih penting, di penghujung pemerintahan Jokowi saat ini seharusnya adalah evaluasi dan koreksi bukan puja-puji.
Bagaimana ceritanya orang dipaksa dengan narasi untuk berlanjut tapi tidak ada evaluasi dan koreksi, meskipun ini bukan berarti perubahan pasti tepat, sebab tampaknya yang mau perubahan pun belum tahu betul persisnya apa yang mau diubah dan bagaimana caranya.
Survei Kompas menegaskan satu hal penting bahwasannya orang miskin dan berpendidikan rendah itu nyata adanya di Indonesia. Padahal seharusnya mereka tidak boleh ada karena Konstitusi bilang bangsa ini harus cerdas dan sejahtera.
Para politisi janganlah berbangga diri dengan serampangan menyimpulkan bahwa itulah bukti bahwa Jokowi adalah sandaran rakyat kecil. Wong cilik.
Bukan begitu!
Sebaliknya itu adalah tamparan keras bagi pemerintahan Jokowi. Sehebat apa Anda bagi kepentingan rakyat sehingga merasa layak ditegaklurusi?
Yang layak ditegaklurusi hanya Tuhan semata.
Tugas kita sebagai manusia dan warga negara adalah bertanya dan meminta pertanggungjawaban penguasa dan aparatusnya.
Bukan memuja dan menjilatnya.
Mengapa masih ada yang miskin dan berpendidikan rendah sementara banyak dari Anda yang hidup enak dari korupsi?
Mengapa duit BUMN Telkomsel Rp5,6 triliun diberikan ke GOTO, perusahaan milik kakak Menteri BUMN-nya sendiri, yang sekarang lagi digadang-gadang jadi bakal cawapres? Memangnya boleh ya sekonflik kepentingan itu?
Mengapa laba Pupuk Indonesia dikoreksi, apakah karena ada masalah proyek dengan perusahaan kakak Menteri BUMN juga?
Ke mana larinya Rp17 triliun duit pelatihan Prakerja yang dibungkus program jual beli video itu?
Mana pertanggungjawaban penggunaan APBN untuk proyek vaksin Covid-19?
Mana pertanggungjawaban perusahaan-perusahaan yang diduga terafiliasi dengan penyelenggara negara yang berbisnis PCR waktu itu?
Kenapa Anda buat kereta cepat, kenapa anggarannya bertambah terus dan ditalangi pakai APBN?
Mengapa perusahaan-perusahaan China mendominasi bisnis tambang nikel Indonesia?
Dari mana pendanaan IKN? Mana investor swasta kakap yang dijanjikan setelah Softbank amsyong itu?
Ada apa di balik kebijakan kendaraan listrik? Mengapa konglomerat dan pejabat yang itu-itu saja yang getol betul mendorongnya?
Dan sebagainya.
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)