Wartawan Mujahid Itu Kembali kepada Rabbnya
Oleh: Nuim Hidayat*
Namanya Aru Syeif Fachruddin Assadullah. Ia memang pedang dan singa Allah. Kata katanya tajam. Kalimatnya bernas. Bila ia menulis artikel, sangat menarik. Tulisan tulisannya senantiasa mencuri perhatian pembaca.
Hafalannya hebat. Bila ia mengikuti suatu acara atau wawancara dengan seseorang, ia jarang mencatat. Hafalan di otaknya langsung ia tuangkan dalam tulisan.
Mas Aru, kita memanggilnya memang bukan orang sembarangan. Ia adalah putra dari tokoh Masyumi Madiun, Kiyai Koen Syarwani.
Laki-laki berjenggot lebat ini wafat kemarin Sabtu 8 Juli 2023. Umurnya sekitar 70 tahun. Ia meninggalkan ribuan artikel.
Ia menulis artikel sejak masa Pak Natsir memimpin Dewan Dakwah. Media Dakwah, media resmi Dewan Dakwah saat itu dipimpin oleh Mohammad Roem. Ahli diplomasi dan mantan perdana menteri.
Sebelum wafat, sekitar dua tahun lalu, saya diberikan buku buku kecil peninggalan Buya Natsir. Ia memberikan juga satu bundel harian Suara Masyumi dan majalah Media Dakwah edisi khusus wafatnya Mohammad Natsir, Maret 1993.
Saya mengenal mas Aru sekitar tahun 1997. Ia waktu itu menjadi wartawan senior di Media Dakwah. Meski ia bukan resmi pemimpin redaksinya, tapi dialah yang memegang majalah kebanggaan Dewan Dakwah saat itu. Ia yang mengedit hampir semua tulisan di majalah itu.
Majalah Media Dakwah sejak zaman Mohammad Natsir sampai Anwar Harjono, memang menjadi bacaan utama orang-orang Dewan Dakwah. Majalah itu tersebar luas ke seluruh Indonesia.
Beruntung saya mengenalnya. Karena dari dialah saya banyak belajar menulis dan diperkenalkan dengan tokoh tokoh Islam Masyumi. Seperti: Anwar Harjono, Hussein Umar, Ahmad Sumargono, Cholil Badawi, Hartono Mardjono, KH Cholil Ridwan, dan lain-lain.
Mas Aru memang bukan wartawan kaleng-kaleng. Ia mengenal baik Amien Rais, AR Baswedan, Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Syafrudin Prawiranegara dan lain-lain. Dengan kakek Anies Baswedan, AR Baswedan, ia cukup akrab. Ia pernah ke Yogya bertemu dengan AR Baswedan dan diajak jalan jalan menemui tokoh-tokoh di sana. Diantaranya bertemu dengan Romo Mangun. Ia pernah diajak juga oleh AR Baswedan untuk menemaninya mengambil mobil 'sedan Impala' hadiah dari presiden, karena jasa-jasa AR Baswedan dalam kemerdekaan RI.
Yang menarik ketika saya mengenalnya 1997, ia berlangganan Kompas di rumahnya. Ia tekun membaca koran tiap pagi dan bila saya datang ke rumahnya kita berbincang tentang perpolitikan di tanah air berjam-jam. Ia menjelaskan berlangganan Kompas untuk memahami arah politik harian Kompas. Ia mempunyai pedoman, kalau dalam politik Kompas mengarah ke X, menurutnya umat Islam harus berarah ke Y. Intinya sikap politik umat Islam harus berlawanan dengan sikap politik Kompas.
Sebuah sikap politik yang perlu menjadi renungan kaum muslimin di tanah air.
Mas Aru menulis beberapa buku. Bukunya yang terakhir berjudul Melawan Kezaliman, Sabetan Pedang Seorang Jurnalis (2020). Di dalamnya membahas: Agenda Sebenarnya Bukan Reformasi, Ketika NKRI Telanjang Bulat, Ternyata Negara Kalah dan Gagal, Gesekan Islam Kristen yang Terus Membara, Perang dan Darah Dilekatkan Umat Islam, Teladan Presiden Syafruddin Prawiranegara dan lain-lain. Buku itu ia cetak sendiri (mungkin ratusan) dan ia bagikan ke teman-temannya.
Tulisan-tulisannya baik di Media Dakwah dan Suara Islam selalu menarik perhatian. Karena ia menulis dengan memaparkan fakta dan argumentasi yang cukup kuat. Banyak pembaca yang merasa kehilangan, ketika mas Aru berhenti menulis (sekitar tahun 2019).
Di samping pintar menulis mas Aru pintar juga melobi. Dengan Fadli Zon, Prabowo Subianto, Muchdi, Sjafri Syamsuddin ia mengenal cukup akrab. Ketika ia wafat, Fadli Zon dan Prabowo mengirim karangan bunga ke rumahnya. Anies Baswedan mengirim ucapan duka cita langsung dari Madinah, via video.
Manusia ketika mempunyai kelebihan tentu mempunyai kekurangan. Kata-katanya yang tajam kadang kadang disalahfahami oleh orang yang belum mengenalnya. Bagi orang yang lama mengenalnya, maklum dengan gaya bicaranya.
Laki-laki kelahiran Madiun ini pernah sekali menginap di rumahku. Ia berharap saya dengan Shodiq Ramadhan, Saiful dan lain-lain melanjutkan perjuangan dakwah di Suara Islam.
Suara Islam, yang dirintis mas Aru ini memang pernah menjadi media yang 'paling ditakuti' kelompok non Islam atau Islam Moderat. Hal itu pernah dinyatakan kelompok mereka dalam seminarnya di Gedung Perpustakaan Nasional, jalan Salemba. Ingatan saya sekitar tahun 2015. Saat itu Suara Islam berbentuk tabloid dan web. Kini Suara Islam hanya berbentuk web (suaraislam.id), karena kekurangan dana.
Mas Aru pernah mengajak saya dan beberapa teman wartawan tahun 1997 ke Bali. Saat itu kita investigasi tentang adanya kandungan Babi dalam sosis yang bermerek Aroma. Alhamdulillah atas kerjasama dengan LPPOM MUI akhirnya sosis itu dilarang. Saat itu mantan karyawan-karyawan perusahaan itu yang mengaku adanya daging babi yang dicampur dalam sosis itu.
Wartawan senior ini berpesan, agar umat Islam tidak ragu untuk memilih Anies Baswedan di pemilu 2024. Agar umat Islam tidak dizalimi dan Indonesia menjadi negeri yang adil, makmur dan diridhai Allah SWT.
Kini kita kehilangan seorang wartawan Islam dan penulis yang hebat. Semoga di masa depan tumbuh kembali penulis-penulis pejuang yang hebat, yang membuat Islam di negeri ini bersinar kembali. Wallahu alimun hakim.
____
*Keterangan Foto atas: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melaksanakan Shalat Jumat di Masjid Al Ikhwan, Jl Haji Shibi, Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan, Jumat (29/10/2021). Lokasi Masjid Al Ikhwan berbatasan dengan Depok dan merupakan kawasan penghujung Jakarta.
Menurut Anies, kehadirannya di perbatasan Jakarta-Depok ini adalah pada tahun yang terakhir, Oktober 2021.
Dalam kegiatan tersebut, Anies bertemu dengan sahabat kakeknya AR Baswedan yaitu HM Aru Syeif Fachruddin Assadullah yang turut shalat di Masjid Al Ikhwan karena kebetulan lokasinya tidak jauh dari kediamannya di Lenteng Agung.
Pak Aru, aktivis Islam yang kini sudah sepuh itu merupakan sahabat almarhum AR Baswedan, pejuang kemerdekaan sekaligus pahlawan nasional. Setiap Pak AR (demikian sapaan akrabnya) ke Jakarta, selalu ditemani oleh Aru.
Pak AR pulalah yang turut memberikan andil mengajarkan ilmu jurnalistiknya sehingga Aru menjadi seorang aktivis yang memiliki kemampuan jurnalis. (SuaraIslam)