UU itu bukan dalil, sehingga dia tidak bisa mengubah hukum halal haram

[Tanggapan SS di atas]

Oleh: Ustadz Anshari Taslim

Kesalahan konsep berpikir beliau ini adalah kalau sudah jadi UU seakan dia jadi sumber hukum syariat meski bertentangan dengan dalil yang syari'at itu sendiri. Jadi perkara ijma' bisa diubah dengan ijtihad segelintir oknum ahlul halli wal 'aqdi.

Kalau ada UU atau regulasi yang mengatasnamakan syariat maka dia harus tunduk kepada hukum syariat itu sendiri, bukan malah melabrak ijma'.

UU itu bukan dalil, sehingga dia tidak bisa mengubah hukum halal haram.

Penetapan UU kalau mau membolehkan kodifikasi hukum (taqnin) oleh ahlul halli wal 'aqdi ada ketentuannya, yaitu tidak boleh melanggar ijma'.

(Ijma' adalah hukum syariat yang sudah disepakati para Ulama madzhab. Jika suatu perkara itu sudah Ijma' berarti tidak ada perbedaan pendapat (khilafiyah) diantara Ulama)

Ulil Amri hanya berhak memilih salah satu pendapat di antara pendapat para ulama yang ada untuk dijadikan UU. Adapun yang sudah ijma' maka tidak boleh dilanggar.

Misalnya dalam kasus pernikahan, dalam masalah apakah nikah disyaratkan harus pakai wali atau tidak. Ada beda pendapat para ulama dalam hal ini, maka pemerintah boleh memilih salah satu dari pendapat itu untuk kemudian ditetapkan jadi UU.

Juga misal dalam hukum waris, bila ada kakek dan saudara. Masalah ini adalah khilafiyyah di kalangan para ulama. Maka ahlul halli wal 'aqdi berhak memilih salah satu dari dua pendapat yang ada, yakni apakah akan mengikuti pendapat Hanafi yang menjadikan saudara mahjub oleh kakek, ataukah mau mengikuti pendapa jumhut di mana kakek mewarisi bersama saudara. Tapi mereka tidak boleh membuat pendapat baru dengan mengatakan kakek mahjub oleh saudara misalnya.

UU itu bukan dalil, justru dia harus ikut dalil, dan ketika jadi UU dia hanya mengikat dalam tataran "eksekusi", tapi tidak mengubah "pendapat" yang telah ada. UU perkawinan misalnya hanya mengikat dalam eksekusi, tapi perbedaan pendapat akan terus ada dan setiap ulama bebas mengikuti pendapat mana meski bertentangan dengan UU hanya saja tidak boleh mengeksekusinya dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya UU mengatakan bahwa nikah sirri itu sah, maka dalam tataran eksekusi itu harus dijalankan, tapi seorang ulama tetap boleh beda pendapat dalam tataran wacana.

Jadi, kalau ada UU yang jelas bertentangan dengan ijma' ulama maka dia adalah UU yang bathil dan tidak boleh diamalkan oleh umat karena akan jatuh pada mengubah hukum syariat, dan bila itu tanpa takwil yang dibenarkan malah bisa jadi kufur.

Bayangkan kalau ada UU atas nama syariat yang misalnya menetapkan pembagian warisan sama antara putra dan putri, lalu kemudian dianggap inilah hukum yang berlaku padahal bertentangan dengan ijma'.

Bayangkan kalau kebetulan orang sekuler atau liberal yang menguasai ahlul halli wal 'aqdi.
Sebagaimana diketahui sudah ada usaha untuk mengubah hukum syariat yang telah disepakati semisal mengubah hukum waris, nikah beda agama yang diajukan oleh FLA (Fiqih Lintas Agama) hasil kajian Islam Liberal bahkan sudah ada bukunya.

Bayangkan kalau suatu saat mereka yang berkuasa dan hasil itu dianggap sebagai pedoman hukum yang harus ditaati meski jelas melanggar ijma'.


Baca juga :