Oleh: Joko Intarto
Tidak ada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan. Kalimat itu bukan jargon seorang calon presiden. Saya membacanya di dinding kantor perusahaan biro iklan Fortune sekitar tahun 2000.
Zaman itu belum dikenal istilah disrupsi. Tapi perubahan cara kerja yang ekstrim telah dimulai. Termasuk di industri periklanan dan media massa.
Dulu memproduksi konten video begitu ruwetnya. Ketika masih menggunakan media perekam pita magnetik. Mengedit video tak kalah ruwetnya. Harus melalui mesin konverter agar rekaman pada pita kaset menjadi file digital.
Kemudian muncul teknologi baru. Kamera digital yang tanpa kaset lagi. Terjadilah disrupsi.
Di satu sisi, kehadiran teknologi itu membuat proses kerja makin mudah, makin cepat dan makin murah. Di sisi lain, teknologi itu juga memakan korban, yakni orang-orang yang menolak perubahan. Mereka yang tidak mau shifting, akhirnya ditinggalkan zaman.
Industri produksi konten video sepertinya segera memasuki era baru lagi. Penggunakan kamera besar akan segera digantikan smartphone. Tanda-tandanya sudah semakin nyata. Sejumlah produsen telepon pintar mulai memperkenalkan produk anyar dengan kamera high end.
Rintisan produksi video menggunakan smartphone sebenarnya sudah dimulai sejak kejayaan Nokia, sekitar 10 tahun lalu. Meski kameranya belum secanggih saat ini, Nokia sudah pernah memproduksi satu film pendek menggunakan smartphone buatannya. Namun rintisan Nokia tak berlanjut. Apalagi setelah brand Nokia tenggelam oleh popularitas sistem operasi Android dan IOS.
Kehadiran TikTok membuka kembali lembaran lama yang sudah ditutup Nokia. Sebagai media sosial untuk berbagi konten video, TikTok telah menjadikan smartphone sebagai studio berjalan. Dengan berbagai efek grafis dan audio, pengguna TikTok bisa menghasilkan konten video menarik hanya dengan sebuah smartphone.
Semalam saya mendapat kiriman dari seorang kawan, teaser video produk smartphone dari Jepang yang akan segera masuk ke pasar Indonesia. Pabrik smartphone itu sudah pernah masuk pasar domestik, namun gagal. Selain fiturnya relatif sama dengan smartphone China, harganya juga kelewat mahal.
Dalam video berdurasi 1 menit itu, diperlihatkan bagaimana kesibukan crew produksi sebuah film yang tayang di stasiun televisi. Semua adegan yang tampil dalam film itu ternyata diproduksi menggunakan beberapa smartphone sekaligus. Seperti produksi multicamera pada industri broadcast. Bedanya sekarang perangkatnya smartphone.
Nasib produk smartphone Jepang itu, menurut saya, tidak akan seperti pengalaman sebelumnya. Dengan kamera berkemampuan tinggi, smartphone tersebut bakal menarik para content creator yang ingin meningkatkan kualitas visual konten yang dibuatnya.
Kalau smartphone tersebut sukses di pasar, akan muncul fenomena baru: Kamera broadcast semakin banyak menganggur. Kualitas visual konten video di media sosial akan semakin bagus. Social commerce akan semakin ngetren.
Jadi, jangan alergi pada perubahan. Sebab, perubahan itu abadi. Yang menolak perubahan akan seperti dinosaurus ketika zaman es pergi.
Lima tahun lalu, saya terheran-heran dengan layanan siaran langsung pesta pernikahan di hotel bintang lima di Medan karena menggunakan handphone. Kok bisa laku? Sebentar lagi, saya akan terheran-heran dengan siaran langsung yang menggunakan kamera broadcast. Kok masih laku?(jto)