Sia-sia Perombakan Kabinet Jokowi
PEROMBAKAN kabinet yang dilakukan Presiden Joko Widodo tidak ubahnya seperti seremonial biasa, mengisi jabatan kosong dan menambah jabatan baru yang sebenarnya tidak diperlukan lagi menjelang akhir jabatan. Penempatan menteri dan wakil menteri juga mengabaikan faktor kompetensi guna menyelesaikan persoalan yang ada.
Jokowi melantik satu menteri, lima wakil menteri, dan dua anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), kemarin. Budi Arie Setiadi dilantik sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, menggantikan politikus Partai NasDem, Johnny Gerard Plate, yang tersandung korupsi pembangunan base transceiver station (BTS).
Ketua Umum Projo—kelompok relawan yang ikut memenangkan Jokowi dalam Pemilihan Umum 2014 dan 2019—itu sebelumnya menjabat Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Posisi yang ditinggalkan Budi itu diisi oleh Rektor Universitas Moestopo Beragama, Paiman Raharjo.
Budi ditemani Nezar Patria yang diangkat menjadi wakil menteri. Bekas wartawan dan komisaris perusahaan negara ini sebelumnya adalah Staf Khusus Menteri BUMN Erick Thohir. Jokowi juga menggeser Pahala Mansury dari Wakil Menteri BUMN menjadi Wakil Menteri Luar Negeri. Posisi Pahala beralih kepada Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat Rosan Roeslani.
Jokowi turut mengganti Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa'adi oleh Saiful Rahmat. Saiful adalah Ketua Dewan Pengurus Wilayah Jakarta Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Jokowi turut melantik bekas Ketua Umum PPP Djan Faridz dan Gandi Sulistiyanto sebagai anggota Wantimpres.
Sekilas, pindah-pindah posisi dan masuk orang baru menjadi anggota kabinet Jokowi merupakan hal yang biasa saja. Apalagi para pejabat baru itu hanya sebagian kecil berasal dari partai politik pendukung pemerintah. Banyak orang mengira, sebagai kepala pemerintahan, Jokowi pasti mengkaji dengan matang dan memilih orang yang tepat untuk menyelesaikan banyak pekerjaan rumah yang ditinggal pejabat sebelumnya.
Namun itu jauh panggang dari api. Dalam hari yang sama dengan pengangkatan Menteri dan Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika, Jokowi membentuk satuan tugas untuk membantu Budi Arie dan Nezar Patria. Langkah ini tentu mencengangkan karena menandakan Jokowi kurang yakin dengan kapasitas dua anggota kabinet yang menempati posisi tersebut.
Padahal, untuk posisi kementerian strategis tersebut, Jokowi semestinya memilih orang yang memiliki kemampuan dan integritas tinggi. Kita semua tahu, Johnny Plate, menteri sebelumnya, menjadi tersangka proyek BTS dengan kerugian negara mencapai Rp 8,2 triliun, dan kasusnya masih diusut Kejaksaan Agung hingga sekarang.
Selain ganjil, pembentukan satuan tugas baru ini seperti sudah menjadi hobi dan kebiasaan Jokowi. Hampir banyak persoalan besar dalam menjalankan roda pemerintahan diselesaikan dengan lembaga ad hoc, yang bisa menjadi penanda gagalnya penunjukan orang pada posisi-posisi tertentu, yang semestinya bertugas menyelesaikan persoalan tersebut.
Jokowi juga melepaskan kesempatan mengoreksi kebijakan sebelumnya dalam penyusunan kabinet. Sejak periode pertama hingga kedua, Jokowi lebih mengedepankan aspek bagi-bagi kue untuk partai koalisi pemerintah dalam mengisi kabinet. Padahal, parameter utama membentuk kabinet yang baik itu tak boleh lepas dari aspek kompetensi, kepemimpinan, akuntabilitas, dan integritas.
Sampai di sini, masuknya sejumlah nama baru menjadi pembantu Jokowi, sulit berharap bakal ada perbaikan signifikan dari kinerja pemerintahan. Mereka hanya akan jadi pelengkap organisasi pemerintah, dan jika di kemudian hari kinerja mereka buruk, buru-buru dibentuk satuan tugas baru.
[Sumber: Editorial Koran Tempo, Selasa, 18 Juli 2023]