[PORTAL-ISLAM.ID] Nama aslinya Abu Ja'far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al Amali ath Thabari, lebih dikenal Imam Ath Thabari. Ia dilahirkan di Tabaristan, sebuah kota yang ada di Persia (Iran). Ia lahir tahun 224 H dan wafat di tahun 310 H di Baghdad.
Beliau hidup semasa dengan Imam Bukhari, Muslim, Abu Dawud, An Nasai, meski bisa dikatakan yang paling muda diantara ulama² hadist tersebut. Imam ath Thabari selain tampil sebagai mufasir, ahlul tarikh (ahli sejarah), beliau menggeluti bidang hadist yang berkenan dengan perihal perilaku sabda Baginda Nabi saw tentang adab.
Beliau meriwayatkan sebuah hadist dari Abu Amir Al Bajali Al Qasari. Dia seorang sahabat Rasululah yang cerdas dan tampan. Abu Amir Al Bajali menceritakan ada seorang anak muda mengadu kepada Rasulullah:
Ia berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya ayahku ingin mengambil hartaku.”
Mendengar pengaduan anak muda itu, Rasul berkata: “Pergilah kamu dan bawa ayahmu kesini!”.
Setelah anak muda itu berlalu, Malaikat Jibril turun menyampaikan salam dan pesan Allah kepada beliau. Jibril berkata:
"Ya, Muhammad, Allah 'Azza wa Jalla menyampaikan salam untukmu, dan berpesan, kalau orang tuanya datang, engkau harus menanyakan apa-apa yang dikatakan dalam hatinya dan tidak didengarkan oleh telinganya.”
Tak lama, anak muda itu datang bersama ayahnya. Rasulullah kemudian bertanya orang tua itu. “Mengapa anakmu mengadukanmu? Apakah benar engkau ingin mengambil hartanya?”.
Sang ayah yang sudah tua itu menjawab:
“Tanyakan saja kepadanya, ya Rasulullah. Bukankah saya menafkahkan uang itu untuk beberapa orang ammati (saudara ayahnya) atau khalati (saudara ibu)-nya, dan untuk keperluan saya sendiri?”.
Rasulullah bersabda lagi: “Lupakanlah hal itu aku sedang tidak membahas hal tersebut. Sekarang ceritakanlah kepadaku apa yang engkau katakan di dalam hatimu dan tak pernah didengar oleh telingamu. (maksudnya, perkataan hatinya tapi tidak diucapkan -red)”
Maka wajah keriput lelaki tua itu pun menjadi cerah dan tampak bahagia. Dia berkata:
“Demi Allah, ya Rasulullah, dengan ini Allah berkenan menambah kuat keimananku dengan kerasulanmu. Memang saya pernah menangisi nasib malangku dan kedua telingaku tak pernah mendengarnya (cuma mbatin dalam hati -red).”
Rasulullah mendesak, “Katakanlah, aku ingin mendengarnya.”
Orang tua itu berkata dengan air mata yang berlinang. "Aku membisikkan (dalam hati ini)... "Aku mengasuhmu sejak bayi dan memeliharamu waktu muda. Semua hasil jerih-payahku kau minum dan kau reguk puas. Bila kau sakit di malam hari, hatiku gundah dan gelisah. Lantaran sakit dan deritamu, aku tak bisa tidur dan resah, bagai akulah yang sakit, bukan kau yang menderita.”
“Lalu air mataku berlinang-linang dan mengucur deras. Hatiku takut engkau disambar maut, padahal aku tahu ajal pasti datang. Setelah engkau dewasa, dan mencapai apa yang kau cita-citakan, kau balas aku dengan kekerasan, kekasaran dan kekejaman, seolah kaulah pemberi kenikmatan dan keutamaan.”
“Sayang, kau tak mampu penuhi hak ayahmu, kau perlakukan aku seperti tetangga jauhmu. Engkau selalu menyalahkan dan membentakku, seolah-olah kebenaran selalu menempel di dirimu. Seakan-akan kesejukan bagi orang² yang benar sudah dipasrahkan.”
Selanjutnya Abu Amir Al Bajali berkata:
“Pada saat itu Nabi langsung memegangi ujung baju pada leher anak itu, seraya berkata.
"Engkau dan hartamu milik ayahmu!”.
(Hadist Riwayat at Thabari).
Dari kisah ini, ketika sudah besar, sebagai anak kadang kita lupa kepada orang tua yg telah berjuang mencari nafkah untuk kita. Ayah kita memberikan segala apa yg dimilikinya tanpa pernah meminta kembali.
Sedangkan kita, ketika akan memberikan sesuatu untuk ayah dan ibu, begitu banyak pertimbangan. Tak jarang, kita mencari dan membuat berbagai alasan agar kepunyaan yang dimiliki tidak berpindah kepada orang tua kita.
والله اعلم
=Musa Muhammad=