Putusan MK, Cawapres Gibran, dan Oligarki-Dinasti Jokowi

Putusan MK, Cawapres Gibran, dan Oligarki-Dinasti Jokowi

Oleh: Denny Indrayana

Link berita CNNIndonesia di atas menarik perhatian saya. Beberapa survei menyatakan elektabilitas Gibran Jokowi selaku Cawapres merangkak naik. 

Banyak isu penting yang harus disikapi dengan amat kritis, soal Gibran Jokowi berpeluang menjadi Cawapres melalui putusan MK tersebut.

Soal politik, silakan dianalisis oleh ahlinya.

Izinkan saya memberikan pandangan dari sisi hukum tata negara. Saya sudah pernah memberikan postingan, bagaimana putusan MK soal uji materi syarat minimal umur capres-cawapres ini menjadi penting untuk dicermati. 

PSI menjadi salah satu pemohon agar syarat umur minimal capres/cawapres 40 tahun di UU Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya mesti diturunkan menjadi 35 tahun.

Mudah dipahami, penurunan umur itu, bukan semata isu hukum, bukan semata soal memperjuangkan hak orang muda, tetapi dibaliknya ada intrik politik untuk membuka peluang Gibran Jokowi masuk ke dalam gelanggang Pilpres 2024.

Salahkah ikhtiar itu?

Saya mengatakan dengan tegas ikhtiar demikian SANGAT salah

Secara teori konstitusi dan tata negara, mudah disampaikan bahwa soal umur, tidak ada kaitannya dengan konstitusionalitas (bertentangan atau tidak dengan UUD). 

Soal umur, karenanya adalah open legal policy, artinya menjadi kewenangan pembuat undang-undang untuk menentukannya dalam proses legislasi (parlemen), BUKAN kewenangan MK untuk menentukan batas umur capres-cawapres melalui proses ajudikasi (peradilan). 

Karena itu, kalaupun misalnya PSI dianggap punya legal standing sekalipun, permohonan semestinya DITOLAK!

Namun, itu jawaban cepat dan mudah. Sebagaimana, seharusnyalah isu syarat umur capres-cawapres ini memang tidak sulit. 

Sayangnya, persoalan hukum di Indonesia seringkali rumit, karena faktor non-hukum, termasuk faktor intrik politik.

Maka, memahami hukum Indonesia, tidak cukup secara normatif saja. Tidak cukup tekstual, tetapi juga kontekstual sosial politik, yang sayangnya cenderung koruptif dan manipulatif.

Maka, saya ingin mengajak semua kita, termasuk teman-teman hukum, untuk tidak hanya berfikir tekstual, tetapi juga menolak penurunan syarat umur capres-cawapres menjadi 35 tahun itu, karena hukum tidak boleh dipermainkan, dan disesuaikan dengan syahwat politik siapapun. 

Justru karena faktor Gibran Jokowi, maka MK akan menabrak norma dan etika konstitusional kalau memutuskan batas umur turun menjadi 35 tahun.

Bahwasanya MK adalah kekuasaan kehakiman yang merdeka, jelas diatur dalam teks konstitusi. Namun, dalam realitas konteksnya, MK yang merdeka harus diperjuangkan, dan dikondisikan bersih dari pengaruh politik kekuasaan, termasuk dari Presiden Jokowi. 

Saya berpendapat, MK harus dijaga dan dikontrol agar merdeka dari kepentingan politik siapapun yang mendorong peluang pencawapresan Gibran Jokowi.

Karena PSI tidak  bisa dilihat sebagai parpol yang independen, tanpa tegak lurus kepada Jokowi secara pribadi. PSI sudah mempunyai rekam jejak yang panjang untuk selalu sejalur dengan kepentingan politik pribadi Jokowi. Termasuk soal dinasti Jokowi dan pewalikotaan Kaesang di Depok.

Maka kemungkinan permohonan uji syarat umur cawapres menjadi 35 tahun, mesti dibaca pula sebagai upaya PSI dan Jokowi untuk membuka peluang Gibran Jokowi menjadi Cawapres--mestinya bukan Capres, di 2024.

Karena itu, posisi MK dengan Ketuanya yang Adik Ipar Jokowi, tentu menimbulkan persoalan etika konstitusional. Bagaimana kita bisa yakin, standar etik Ketua MK akan berpihak kepada Republik, kalau Anwar Usman masih merasa etis dan elok bertemu kakak iparnya Jokowi, saat esok harinya membacakan putusan strategis sepenting sistem pemilu legislatif tertutup atau terbuka. 

Menurut standar etika yang normal, semestinya Anwar Usman, menolak makan malam dengan sang kakak ipar Jokowi, demi menjaga marwah, kemerdekaan, dan kehormatan MK. 

Masih panjang catatan kritis yang bisa dituliskan untuk menyoal dan mengawal agar MK tidak mengabulkan syarat umur Capres-Cawapres diturunkan dari 40 menjadi 35 tahun, semata-mata demi membuka peluang Gibran menjadi kontestan Pilpres 2024, dan membangun Oligarki-Dinasti Jokowi.

Semoga ini bukan cawe-cawe Jokowi yang makin merusak konstitusionalitas Pilpres 2024 yang seharusnya Jujur dan Adil.

Lagi-lagi MK harus dikawal untuk menghasilkan keputusan yang sejalan dengan spirit konstitusionalisme, yaitu membatasi kekuasaan yang cenderung koruptif dan seringkali tergoda untuk membangun dinasti.

Jadi, secara teks dan konteks konstitusionalisme, kalau ditanya apakah salah ikhtiar mengubah syarat umur capres-cawapres melalui putusan MK itu, jawaban saya dengan tegas dan lantang adalah: 

SANGAT salah, dan harus dilawan!
Baca juga :