Pengadaan Culas Proyek Basarnas
Suap proyek Basarnas harus diusut tuntas dan pelakunya dihukum berat karena menyelewengkan dana kemanusiaan. Perlu tim koneksitas.
KPK menggelar operasi tangkap tangan itu di Jalan Mabes Hankam, Cilangkap, Jakarta Timur, dan di sebuah warung di kawasan Jatisampurna, Bekasi, Jawa Barat, pada Selasa (25/7/2023) lalu.
Di dua lokasi itu, tim KPK menangkap 11 orang dari pihak swasta dan Basarnas, termasuk seorang perwira menengah TNI. Dalam operasi tersebut, KPK menyita juga uang sebesar Rp 5,099 miliar, yang terdiri atas uang tunai Rp 999,7 juta dan uang di dalam rekening senilai Rp 4,1 miliar.
Dari keterangan mereka, KPK mengantongi informasi keterlibatan Kepala Basarnas periode 2021-2023, Marsekal Madya (Purnawirawan) Henri Alfiandi. Henri sudah tidak menduduki posisi tersebut sejak 17 Juli lalu karena dimutasi ke Markas Besar TNI Angkatan Udara menjelang pensiun pada 24 Juli lalu.
KPK menetapkan Henri dan empat orang lainnya sebagai tersangka. Henri dan anak buahnya, Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto, menjadi tersangka karena diduga menerima suap.
Henri diduga menerima suap hingga Rp 88,3 miliar dari tiga pemenang proyek pengadaan di Basarnas. Uang suap tersebut memakai kode "dana komando". Tiga tersangka lainnya adalah pemberi suap dari swasta. Ada indikasi proyek yang dimainkan lebih dari tiga pengadaan.
Dalam kasus Basarnas, para tersangka bersekongkol mengakali sistem pengadaan elektronik.
Henri mendesain perusahaan tertentu untuk dijadikan pemenang lelang.
Cara mendesain pemenang lelang itu tergambar dari pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan, public safety diving equipment, dan remotely operated vehicle pada tahun anggaran 2023.
Secanggih apa pun sistem tendernya, jika dari awal sudah terjadi persekongkolan, pengadaan-pengadaan berbasis elektronik pun akan mudah diakali.
Dalam kasus Basarnas, operasi tangkap tangan ini menjadi awal untuk menyeret orang-orang yang terlibat hingga mereka mendapat hukuman sepadan. Termasuk kepada para tersangka, seperti Henri Alfiandi, yang penanganan perkaranya diserahkan ke Pusat Polisi Militer TNI.
Agar kasusnya tak berujung seperti perkara korupsi pengadaan helikopter Agusta Westland - 101 di TNI Angkatan Udara yang dihentikan Puspom TNI, perlu dibentuk tim koneksitas berisi penyidik KPK dan penyidik militer. Kasus korupsi pengadaan helikopter Agusta Westland dibongkar KPK pada 2017. Ketika itu, pengusutan yang melibatkan pensiunan jenderal bintang empat tentara tersebut diserahkan ke Puspom TNI.
Kasus Basarnas perlu mendapat perhatian serius dan pelakunya mesti dihukum berat karena menilap dana dari proyek untuk kepentingan kemanusiaan. Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sudah jelas mengatur korupsi yang masuk kategori seperti ini diganjar hukuman maksimal pidana seumur hidup.
(Sumber: Koran Tempo)