KDRT figur agama
Oleh: Dr Muhammad Arifin Badri
Kawan! Siapapun kita, dan apapun kapasitas kita, maka semua itu bukan jaminan bahwa bebas masalah alias sebagai manusia "SUPERPOWER" atau "SUPERMEN" .
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
( كل بني آدم خطاء وخير الخطائين التوابون )
"Setiap anak keturunan Adam (manusia) banyak melakukan kesalahan (dosa), dan sebaik-baik manusia yang banyak kesalahannya (dosanya) adalah yang ringan tangan untuk bertaubat." (At Tirmizy dll)
Sebagaimana rumah tangga siapapun juga tidak luput dari masalah, masalah besar ataupun masalah kecil. Dan kalaupun harus berakhir dengan perceraian, maka itu adalah dinamika rumah tangga yang wajar, bahkan rumah tangga Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah mengalami dinamika ini, salah satunya beliau pernah menceraikan Hafshah bintu Umar bin Al Khatthab radhiallahu 'anhum.
Alasan percerian beliau dikisahkan karena karakter Hafshah radhiallahu 'anha yang keras.
Namun demikian, tak seorangpun yang berkata: problematika rumah tangga beliau atau karakter istri beliau menjadi beban dakwah atau mencoreng Islam.
Sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam juga ada yang KDRT, sebagaimana yang terjadi pada sahabat Tsabit bin Qais bin Syammas radhiallahu 'anhu, yang dalam satu riwayat dikisahkan bahwa beliau memukul istrinya, sehingga istrinya mengajukan khulu' (permohonan mengakhiri pernikahan dengan membayar uang ganti/mengembalikan mas kawin).
Pada riwayat lain, alasan istrinya mengajukan khulu' karena ia kecewa dengan wajah suaminya yang ternyata tidak tampan lagi pendek.
Patut diketahui bahwa sahabat Tsabit bin Qais adalah salah satu sahabat dekat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang bertugas sebagai juru bicara beliau dalam berbagai momentum.
Walau demikian tak seorangpun mengatakan bahwa tindakan beliau mencoreng dakwah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam atau Islam.
Tindakan beliau adalah tindakan personal, dan diselesaikan dengan proporsional, yaitu dengan mengabulkan atau merestui tindakan istrinya yang mengembalikan mas kawan suaminya dan mengakhiri hubungan pernikahan mereka berdua.
Sahabat Hasan bin Ali Bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu dikenal sebagai lelaki yang sering kawin dan sering bercerai. Namun demikian tak seorangpun yang berkata bahwa tindakan cucu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam itu mencoreng dakwah, atau Islam atau mencemarkan nama baik kakeknya yaitu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Tindakan beliau adalah tindakan personal, walau sudah dikenal secara luas hobi menikah dan menceraikan, namun karena beliau tampan dan cucu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tetap saja banyak wanita yang mau dinikahi dengan kesadaran bahwa sangat dimungkinkan ia akan diceraikan sebagaimana nasib wanita wanita sebelumnya.
Urusan sengketa rumah tangga sepatutnya diisolir sebagai masalah personal yang metode penyelesainnya sudah dijelaskan dalam Al Qur'an
Salah satunya pada ayat berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ
بَيْنِهِمَا فَابْعَثُواْ حَكَمًا مِّنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِّنْ أَهْلِهَا إِن
يُرِيدَا إِصْلاَحًا يُوَفِّقِ اللّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
"Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." (An Nisa' 35)
Dan bila memang harus melibatkan hakim, maka itu juga wajar, sebagaimana yang dilakukan oleh dua wanita terhadap suami mereka yaitu Abu Sufyan dan Tsabit bin Qais radhiallahu 'anhum yaitu dengan mengadukan sikap mereka berdua kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Saudaraku! Bila memang salah satu dari pasangan suami istri bertindak kelaliman, maka itu adalah tanggung jawab personal beliau, bila tidak dapat diselesaikan dengan perdamaian/kekeluargaan, maka serahkan masalah mereka kepada pengadilan.
Dan patut diingat bahwa problematika rumah tangga seirng kali terjadi akibat dari sikap dan tindakan kedua belah pihak, sehingga mendudukkan perkara atau menilai suami yang benar atau istri yang benar 100 % bukanlah hal mudah.
Karena itu pengadilanlah yang memiliki kapasitar untuk memverifikasi dan memvalidari bukti dan data kedua belah pihak.
Masalah sengketa, baik sengketa keluarga, dagang, atau lainnya bukan ranah iba atau perasaan, namun ranah data dan pembuktian....siapapun yang mampu membuktikan klaimnya maka ialah yang dimenangkan walaupun bisa jadi data yang ia suguhkan adalah data palsu, namun karena pihak yang benar tidak memiliki data sama sekali, maka prosedur pengadilan akan memenangkan pihak yang berhasil mendatangkan data dan bukti. Untuk kemudian kelak di hari qiyamat Allah yang benar benar akan menegakkan keadilan berdasarkan fakta yang sebenarnya.
Kawan! Figur agama juga tetap manusia, bisa salah dan khilaf, dan kesalahan atau kehilafannya itu tidak layak menjadi alasan bagi siapapun untuk menolak kebenaran yang ia ajarkan.
Ambillah kebaikan orang lain, dan maafkan kekurangannya, dan kalaupun ia tetap dengan kesalahannya hingga akhir hayat kelak, maka itu adalah tanggung jawab personal dia.
Kebenaran tetaplah kebenaran dan kesalahan juga tetap kesalahan.
Kebenaran dan kesalahan tidak diukur dengan figur namun figur manusia siapapun dia dinilai dengan kebenaran.
Semoga Allah Ta'ala menjadikan rumah tangga kita rumah tangga yang sakinah dan mawaddh hingga akhir hayat kelak, amiin.