Kasihan Para Santri, Inilah Bahaya Pandangan Pesantren Al Zaytun Terhadap Al Quran
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia)
Di media massa, sudah beredar luas kutipan ucapan beberapa khatib Jumat di Pesantren al-Zaytun, yang mengatakan: “Qoola Rasuulullahi shallallahu ‘alaihi wasallama fil Quraanul Kariim.”
Ucapan itu artinya: “Rasulullah saw berkata dalam Al-Quranul Karim”.
(Ini artinya menurut mereka al-Quran adalah kata-kata Muhammad.)
Ternyata, ucapan yang diulang-ulang oleh beberapa khatib Jumat itu memang merupakan doktrin yang diajarkan oleh pimpinannya.
Alhamdulillah, sudah cukup banyak ulama dan masyarakat yang mengkritik hal tersebut. Ini menunjukkan umat Islam tidak tinggal diam, setiap ada upaya serangan terhadap al-Quran. Mungkin para santri itu tidak menyadari, betapa rusaknya pemikiran yang mengubah konsep dasar al-Quran tersebut. Kasihan, mereka menjadi korban pemikiran yang salah.
Untuk memahami bahaya pemikiran tentang al-Quran yang diajarkan di Pesanren Al-Zaytun, ada baiknya kita menelusuri jejak pemikiran Yahudi dan Orientalis dalam menyerang konsep dasar al-Quran sebagai Kalamullah. Bahwa, dalam pandangan Islam, al-Quran – lafadz dan maknanya – adalah dari Allah. Nabi Muhammad saw tidak terlibat dalam perumusan lafadz al-Quran. Beliau hanya menyampaikan Kalam Allah.
Sebenarnya, tuduhan bahwa al-Quran adalah kata-kata Muhammad sudah banyak disampaikan oleh kaum Yahudi, orientalis, dan juga misionaris Kristen. Berikut ini beberapa contohnya.
Dr. Abraham Geiger (1810-1874), seorang orientalis Yahudi dianggap sebagai yang mengawali serangan halus terhadap al-Quran, melalui bukunya “What did Muhammad Borrow from Judaism?” Setelah Geiger, kemudian bermunculan para orientalis dalam studi al-Quran, seperti Theodor Nöldeke (1836-1930), Friedrich Schwally, Gotthelf Bergsträsser, Otto Pretzl, dan sebagainya.
Pada intinya, para orientalis Yahudi-Nasrani itu tidak mau mengakui al-Quran itu wahyu dari Allah dan menyebut bahwa al-Quran itu adalah karangan Muhammad. Sebab mereka tidak mengakui Muhammad itu sebagai nabi dan mendapatkan wahyu dari Allah berupa al-Quran. Logika mereka, pasti Muhammad berbohong dengan mengaku mendapat wahyu dan kemudian ia menulis al-Quran dengan menjiplak Bibel.
Para orientalis ini menuduh al-Quran sebagai karangan Nabi Muhammad saw, sebab mereka harus mempertahankan keabsahan eksistensi agama mereka. Mereka paham, bahwa al-Quran adalah satu-satunya Kitab yang memberikan kritik-kritik secara mendasar terhadap dasar-dasar kepercayaan Yahudi dan Kristen.
Di Indonesia sempat beredar secara tidak resmi buku berjudul “Mengungkap Kebenaran Diungkapkan: Pandangan Seorang Arab Kristen tentang Islam” karya Dr. Anis A. Shorrosh. Buku bersampul Putih bergambar salib itu diberi keterangan di sampulnya: “Bacaan Umat Kristen”. Sebagian isi buku ini menyatakan: ”Setelah mempelajari al-Quran, saya berpikir bahwa kitab itu disusun dengan cara sebagai berikut. Muhammad mengumpulkan prosa dan syair-nya kemudian mencoba mengedit dan mempersiapkannya sebelum diterbitkan untuk berjaga-jaga apabila dia tiba-tiba meninggal dunia.” (hlm. 203).
Tuduhan al-Quran sebagai “kata-kata Muhammad” juga dilakukan oleh beberapa pemikir liberal. Tokoh liberal Mesir, Nasr Hamid Abu Zayd, misalnya, menyebut bahwa al-Quran adalah spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya. (Lihat buku: berjudul “Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan” (2003).
Dengan definisi al-Quran seperti itu, maka Nabi Muhammad saw diposisikan sebagai semacam “pengarang” al-Quran. Artinya, redaksi al-Quran adalah versi Nabi Muhammad saw. Karena beliau dikatakan hanya menerima wahyu dalam bentuk inspirasi. Nabi Muhammad saw dituduh sebagai penerima wahyu yang tidak pasif, tetapi juga mengolah redaksi al-Quran, sesuai kondisinya sebagai manusia biasa yang dipengaruhi oleh budayanya.
Tuduhan bahwa konsep al-Quran seperti itu mirip dengan konsep teks Bibel, yang disebut sebagai: “The whole Bible is given by inspiration of God”. Ujungnya, akan menyebut agama Islam sebagai “agama Muhammad”, dan hukum Islam disebut sebagai “Mohammedan Law”, umat Islam disebut sebagai “Mohammedan”.
Penganut konsep Quran seperti ini biasanya tidak mau menyatakan: “Allah berfirman dalam al-Quran.”, sebab mereka menganggap al-Quran adalah kata-kata Muhammad. Atau, al-Quran adalah karya bersama antara Muhammad dengan Tuhannya.
Dalam konsepsi dasar Islam, Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, untuk kemudian disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya, setempat dan seketika itu. Posisi Nabi Muhammad saw dalam menerima dan menyampaikan al-wahyu memang pasif, hanya sebagai “penyampai” apa-apa yang diwahyukan kepadanya.
Rasulullah saw tidak menambah dan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau ma’shum. Al-Quran menyebutkan: “Dan dia (Muhammad saw) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS Al-Najm: 3).
Nabi Muhammad saw memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6). Bahkan, dalam surat al-Haaqqah ayat 44-46, Allah memberikan ancaman kepada Nabi Muhammad saw: “Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya.”
Dalam keyakinan Muslim selama ini, Nabi Muhammad saw hanyalah sebagai penyampai wahyu. Teks-teks al-Quran memang dalam bahasa Arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya ketika itu. Tetapi, al-Quran tidak tunduk pada budaya. Al-Quran justru merombak budaya Arab dan membangun sesuatu pola pemikiran dan peradaban baru.
Istilah-istilah yang dibawa al-Quran, meskipun dalam bahasa Arab, tetapi membawa makna baru, yang berbeda dengan yang dipahami kaum musyrik Arab waktu itu. Bahkan, al-Quran datang dengan konsep-konsep yang disimbolkan dengan istilah-istilah tertentu yang berbeda maknanya dengan yang dipahami kaum jahiliyah ketika itu.
Respon umat Islam terhadap Pesantren al-Zaytun – yang mengubah konsep dasar al-Quran – menunjukkan bahwa umat Islam masih sangat sensitif dan responsif terhadap setiap usaha penyesatan ajaran-ajaran pokok dalam Islam. Dan memang, usaha-usaha untuk menyerang al-Quran dan Nabi Muhammad saw selama ini pun tak mampu menggoyahkan iman umat Islam. Wallahu A’lam bish-shawab.