Jokowi bukanlah PDIP!

Catatan Agustinus Edy Kristianto:

Meskipun Harian “Kompas” (16/7/2023) menyematkan atribut “kader PDIP” kepada Jokowi dalam pemberitaan tentang Rakernas Relawan Arus Bawah Jokowi (ABJ), Sabtu (15/7/2023), menurut saya, justru sebaliknya yang terjadi: Jokowi bukanlah PDIP!

Mengapa?

Begini "titahnya":
“Cawapresnya siapa belum jelas. Masa belum jelas, bapak ibu milih, ya enggak?”

Saya menafsirkan pernyataan itu “menyimpang” dari garis banteng: PDIP mencalonkan Ganjar Pranowo dan saat ini tidak peduli iblis siapapun yang jadi cawapresnya, ya logikanya seharusnya tetap suarakan dukung Ganjar.

Jokowi beda: jelas dulu cawapresnya baru ia menginstruksikan pendukungnya untuk menjatuhkan pilihan.

Berarti:

Jokowi tidak mengidentifikasikan dirinya dalam hal politik elektoral kepada PDIP.

Ia seolah menganggap dirinya adalah “imperium” terpisah dari banteng dan mau kirim sinyal kepada siapa saja bahwa ia pun layak jadi “kingmaker”—taipan politiknya perlu melihat sinyal itu bekerja.

Ia tampaknya merepresentasikan “kekuatan lain” yang kemungkinan besar ia bangun bersama kelompok “non-politiknya” selama dua periode ia menjabat dan sampai saat ini masih menempati posisi strategis dalam keputusan pengelolaan sumber daya negara.

Banyak info beredar bahwa cawapres jagoan dia adalah Erick Thohir dan Sandiaga Uno (bagi saya keduanya sepaket, sealiran, serahim kepentingannya, bak permainan dua kaki)—jika Prabowo tidak memungkinkan dirayu menjadi cawapres Ganjar.

Tapi, podcast “Tempo” membocoraluskan kabarnya Megawati menolak baik Erick maupun Sandi.

Salah satu alasannya karena dianggap berpotensi kasus hukum di kemudian hari.

Disebut contohnya kasus GOTO Rp6,4 triliun—yang kerap saya tulis.

Terserah Anda mau percaya atau tidak dengan informasi itu.

Monggo dicek-ricek.

***

Namun, bagi saya, situasi sekarang justru memperjelas dugaan bahwa “imperium” Jokowi itu ada, berkuasa, dan mengendalikan institusi negara—termasuk penegak hukum.

Jika petinggi Nasdem bisa dikipas kasus BTS atau capres sebelah ditakut-takuti kasus Formula E, mengapa hal demikian tak berlaku sama dalam hal dugaan skandal GOTO, Rekind dll, yang diduga ada kaitannya dengan keluarga/kerabat bahkan bisa jadi Menteri BUMN sendiri?

Menteri BUMN sangat strategis posisinya karena berwenang memutuskan bagi-bagi jabatan pengurus (komisaris/direksi) atau jabatan lain di BUMN, duduk sebagai perwakilan pemegang saham Negara dalam RUPS, memutuskan arah aksi korporasi, menentukan penempatan investasi dana-dana pensiun BUMN dan sejenisnya, mengarahkan pengelolaan CSR atau bentuk-bentuk lain yang sangat berpotensi disimpangkan untuk kepentingan politik pribadi/golongan.

Total aset BUMN itu ribuan triliun dan seksi betul jadi sapi perah.

Yang jelas, justru sekaranglah bangsa ini memerlukan desakan TRANSPARANSI, EVALUASI, dan PERTANGGUNGJAWABAN yang lebih tegas terhadap pemerintahan Jokowi selama dua periode ini melalui cara-cara yang patut dan konstitusional, terutama menyangkut kebijakan strategis dan sensitif.

Tak hanya perkara GOTO dan Rekind tetapi juga bisa dipertanyakan mulai dari pelaksanaan Tax Amnesty yang melibatkan sejumlah taipan dan dana jumbonya, konsesi sumber daya alam terutama batubara dan nikel, keberpihakan tertentu dalam perang dagang AS vs China, dugaan “dinasti politik” dan nepotisme dalam penentuan jabatan publik, kebijakan divestasi perusahaan negara, konflik kepentingan di antara bisnis pejabat negara, keluarga, dan kroninya.

Kita musti lebih cerdas dan kritis.

Jangan mau BERLANJUT secara membabi-buta.

Jangan mau BERUBAH secara serampangan.

Jangan main ASAL PUAS dan TERIMA KASIH pemerintah.

Salam.

(fb)
Baca juga :