HENTIKAN MONOPOLI PENYELENGGARAAN HAJI

[Editorial Koran Tempo]
Hentikan Monopoli Penyelenggaraan Haji

🚩Seperti tahun-tahun sebelumnya, penyelenggaraan haji pada tahun ini kembali bermasalah. Perlu melibatkan swasta.

🚩Banyak petugas haji yang ditengarai berasal dari lingkungan dan organisasi kemasyarakatan (ORMAS) Islam tertentu. 

🚩Petugas haji yang biasanya diisi oleh mahasiswa dan aparatur sipil negara Kementerian Agama yang lancar berbahasa Arab digantikan oleh mereka.

Karut-marut penyelenggaraan ibadah haji yang sudah berlangsung puluhan tahun, termasuk pada tahun ini, harus segera diakhiri. Monopoli haji reguler oleh negara terbukti merugikan jemaah haji. Sudah saatnya swasta dilibatkan agar pengelolaan haji menjadi lebih bertanggung jawab dan profesional.

Serangkaian masalah mewarnai penyelenggaraan ibadah haji pada tahun ini. Kekisruhan terjadi dari persoalan katering makanan yang sering telat, sejumlah anggota jemaah haji tidak mendapat tenda tempat tinggal karena amburadulnya pengaturan penempatan, hingga urusan transportasi yang awut-awutan. Akibatnya, sejumlah anggota jemaah telantar dan tidak mendapat makan. 

Bahkan, pada tahun ini, jumlah anggota jemaah haji yang meninggal per 1 Juli lalu mencapai 249 orang, paling tinggi selama empat tahun terakhir.

Masalah tersebut menunjukkan betapa buruknya penyelenggaraan haji reguler oleh pemerintah. 

Penambahan kuota ibadah haji pada tahun ini tak dibarengi dengan pengaturan yang baik menyangkut urusan akomodasi, transportasi, dan konsumsi. Pada 2023, Indonesia mendapat kuota 221 ribu orang. Belakangan, pada Mei lalu, mendapat jatah tambahan 8.000 orang.  

Lonjakan jumlah anggota jemaah haji ini tidak diantisipasi dengan baik oleh pemerintah. Manajemen penempatan jemaah haji dan distribusi makanan acak-acakan. Pemerintah seperti tidak belajar dari kejadian pada tahun-tahun sebelumnya.  

Audit dengan tujuan tertentu Badan Pemeriksa Keuangan terbaru menemukan bahwa permasalahan sebenarnya terjadi sejak sebelum keberangkatan ketika jemaah haji masih di asrama haji. 

Menurut BPK, perencanaan penempatan jemaah haji ketika di Arab Saudi tak sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penempatan Jemaah Haji dengan Sistem Zonasi Berdasarkan Embarkasi. 

Misalnya, rencana penempatan jemaah haji embarkasi Batam di lokasi akomodasi yang seharusnya untuk zona Kalimantan Selatan. Akibatnya, ribuan kasur yang telah disediakan tak terpakai. Sebaliknya, di tempat lain banyak yang tak mendapat tempat tinggal.

Kekisruhan juga terjadi ketika pengaturan jemaah haji oleh petugas lapangan saat pelaksanaan ibadah haji. Mereka tak sigap membantu dan mengarahkan jemaah haji. Bahkan ada beberapa petugas yang tak lancar berbahasa Arab sehingga tidak bisa segera mencari solusi ketika mendadak ada masalah di lapangan, seperti ketika makanan terlambat datang. 

Banyak petugas haji yang ditengarai berasal dari lingkungan dan organisasi kemasyarakatan (ORMAS) Islam tertentu. 

Petugas haji yang biasanya diisi oleh mahasiswa dan aparatur sipil negara Kementerian Agama yang lancar berbahasa Arab digantikan oleh mereka.

Proses yang tertutup dari pengelolaan haji ini terbukti mendatangkan banyak mudarat. Tidak ada langkah darurat dan mitigasi ketika terjadi kesemrawutan. Ujung-ujungnya, jemaah haji yang dirugikan. 

Amburadulnya penyelenggaraan haji ini buah dari monopoli oleh negara. 

Wajar saja kalau ada wasangka bahwa penyelenggaraan haji adalah proyek besar para politikus yang tengah berkuasa. Indikasinya: puluhan tahun masalah berulang, tapi tak ada pembenahan signifikan.

Karena itu, monopoli penyelenggaraan haji reguler oleh negara harus dihentikan. 

Swasta harus dilibatkan dengan sistem tender yang terbuka dan transparan. 

Dalam urusan ini, pemerintah cukup menjadi regulator yang memastikan pemenuhan hak-hak jemaah haji. Haji plus, misalnya, bisa diselenggarakan dan dikelola pihak swasta melalui biro perjalanan yang mendapat izin pemerintah. 

Apalagi pemerintah juga gagal mengelola duit setoran awal haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). 

Indikasinya adalah kenaikan biaya perjalanan ibadah haji atau bipih 2023 menjadi Rp 49,8 juta dibanding pada tahun lalu, yang sebesar Rp 39,8 juta. 

Ironisnya, kenaikan itu berbanding terbalik dengan keputusan pemerintah Arab Saudi yang justru menurunkan biaya masyair—paket layanan haji yang meliputi konsumsi, akomodasi, dan transportasi. 

Padahal pembentukan BPKH bertujuan agar dana setoran haji dikelola secara profesional dan menghasilkan keuntungan atau nilai manfaat yang signifikan. Keuntungan tersebut untuk menutupi kenaikan biaya setiap tahunnya sehingga tak memberatkan jemaah haji.

Kemauan baik pemerintah menjadi kunci pembenahan penyelenggaraan ibadah haji. 

Cara pandang pelaksanaan haji sebagai ibadah sehingga penyelenggaraannya harus dipegang pemerintah adalah salah kaprah. 

Pemerintah semestinya malu dan sadar diri karena sudah bertahun-tahun gagal mengelola ibadah tahunan umat Islam ini.

[Sumber: Editorial Koran Tempo, Senin, 3 Juli 2023]
Baca juga :