[PORTAL-ISLAM.ID] Dari pernikahan Umar bin Khatab dengan Zainab binti Mazh’un, lahirlah Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), serta Hafsah. "Hafshah binti Umar ibn Khaththab lahir ditahun yang sama dengan lahirnya Fatimah putri Rasulullah".
Pendidikan bagi wanita merupakan hal yg tabu di kalangan masyarakat Arab pada masa jahiliyah. Penduduk bangsa Arab mayoritas tidak bisa membaca dan menulis. Namun pada masa itu, Hafsah menjadi seorang wanita yg memiliki kemampuan tersebut.
Pada peristiwa perang Badar, Umar ibn Khaththab ikut terjun langsung ke medan "perang Badar" bersama Rasulullah dan para Sahabat. Dalam perang itu, gugurlah sahabat besar, Khunais ibn Hudzafah, Ia adalah seorang sahabat yg mengalami dua kali hijrah, ke Habasyah & Madinah.
Khunais merupakan suami Hafshah. Ia meninggalkan Hafshah menjadi janda muda yg bertakwa, saat menjanda, Hafshah masih sangat belia, belum genap berusia 18th. Umar ibn Khaththab merasa sangat tertekan dengan keadaan putrinya yg menjadi janda. Ia melihat ke-remajaan Hafshah tertutup oleh hari-hari yg kelam sepeninggal suaminya keceriaan terhapus dari wajahnya ketika usianya masih sangat belia.
Setiap kali masuk rumah dan melihat putrinya yg sedang bersedih, Umar ibn Khaththab merasa sangat iba. Setelah berpikir panjang, Umar memutuskan untuk mencarikan seorang suami yg akan menjadi penggugah keceriaan bagi putrinya sehingga putrinya itu bisa menemukan kembali kedamaian kembali seperti dulu.
Beberapa saat kemudian, Umar ibn Khatab memutuskan untuk memilih Abu Bakar. Dengan sifat toleran, sederhana, dan teguh yg dimiliki, Abu Bakar cukup pantas untuk menjadi pelindung bagi Hafshah. Umar ibn Khaththab tidak merasa ragu dengan pilihannya. Saat itu juga, ia pun pergi menemui Abu Bakar untuk bercerita tentang Hashah dan cobaan yg dialaminya menjadi seorang janda muda.
Abu Bakar ash-Shiddiq mendengar cerita Umar dengan penuh perasaan dan simpati. Oleh karena itu, Umar segera menawarkan putrinya untuk dinikahi Abu Bakar. Ia yakin bahwa Abu Bakar tidak akan ragu untuk menerima perempuan muda yg bertakwa.
Namun ternyata Abu Bakar hanya terdiam dan tidak menjawab sepatah kata pun. Alhasil, Umar ibn Khaththab pergi meninggalkan Abu Bakar dengan lunglai menghadapi kondisi yg terjadi. Ia hampir tidak percaya bahwa Abu Bakar menolak untuk menikahi Hafshah yg ditawarkan oleh ayahnya sendiri.
Umar ibn Khaththab kemudian pergi menuju kediaman Utsman ibn Affan yg istrinya, Ruqayyah binti Muhammad, juga telah meninggal dunia karena menderita penyakit campak setelah kaum Mukminin mendapat kemenangan gemilang dalam Perang Badar.
Jika umar kehilangan "menantunya dalam perang badar, maka Utsman bin Affan pada saat yg sama juga kehilangan istrinya".
Umar ibn Khaththab bercerita mengenai keadaanya kepada Utsman ibn Affan sebelum menawarkan putrinya, Hafshah, dengan perasaan yg masih teriris oleh penolakan Abu Bakar untuk menikahi putrinya itu. Utsman meminta untuk diberi waktu dalam beberapa hari. Lalu beberapa hari kemudian, Utsman mendatangi Umar dan berkata, “Saat ini aku belum ingin menikah.”
Duka dan kesedihan Umar semakin mendalam karena penolakan Utsman. Umar tertekan karena ditolak kedua sahabatnya itu. Padahal keduanya adalah sahabat karib yg sama-sama mengetahui kedudukan Umar. Oleh karena itu, Umar merasa sedih dan terpukul kemudian pergi menghadap kepada Rasulullah untuk mengadukan nasibnya dan bagaimana sikap Abu Bakar dan Utsman ibn Affan terhadap tawarannya untuk menikahi putrinya.
Rasulullah tersenyum kemudian bersabda: “Hafsah akan menikah dengan orang yg lebih baik daripada Abu Bakar dan Utsman sementara Utsman akan menikah dengan wanita yg lebih baik daripada Hafshah."
Terbukti sepeningal Ruqayyah ra puteri Rasulullah, kemudian Rasulullah menikahkan kembali Utsman bin Affan dengan Ummu Kultsum ra adik dari Ruqayah ra.
Masyhur sebab Utsman menikahi dua putri Rasulullah, beliau mendapat julukkan Dzunun Rain (yg memiliki dua cahaya).
Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yg akan meminang putrinya. Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya.
Umar langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafsha, namun aku tidak mungkin membuka rahasia dia kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yg akan menikahi Hafshah.”
Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah.
Pernikahan Rasulullah dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan dia terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.
Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yg menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khatab, sahabat Rasulullah yg terhormat.
Sayyidah Hafshah dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yg dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.
Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun mengetahui bahwa orang yg menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yg ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah menjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih saja terjadi kesalah pahaman yg bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri- istrinya.
Hafsha senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafsha khawatir sikap tersebut meyusahkan Rasulullah. Rasulullah senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Beliau bersabda :
“Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik".
Dari sabda tersebut terbukti Hafsah senantiasa meyampaikan apa² yg Rasulullah ajarkan tentang "sikap seorang janda mulai dari masa idah sampai hal² detail adab seorang janda".
Sayyidah Hafshah juga dikenal sebagai seorang yg tidak segan untuk berbeda pendapat, bahkan dengan Nabi Muhammad sekali pun.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Sayyidah Hafshah tidak setuju dengan pernyataan Nabi Muhammad, bahwa para sahabat yg mengikuti perjanjian Hudaibiyah tidak akan masuk neraka. Sayyidah Hafshah kemudian menyitir ayat 71 surah Maryam :
وإن مّنكمْ إلّا واردها ۚ كان على ربّك حتْما مّقْضيّا
"Wa im mingkum illa wariduha, kana 'ala rabbika hatmam maqdiyya".
“Tidak seorang di antara kamu kecuali akan melewatinya.”
Baginda Nabi saw kemudian membetulkan pemahaman Sayyidah Hafshah tentang ayat tersebut dengan membacakan ayat berikutnya :
ثمّ ننجّي الّذين اتّقوْا و نذر الظّالمين فيها جثيّا ََ
"Tsumma nunajjillazinattaqaw wa nazaruz zalimina fiha jisiyya"
“Kemudian Kami akan menyelamatkan orang² yg bertakwa dan membiarkan orang² yg zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.”
(Qs Maryam 72).
Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal ditangan Fairuz / Abu Lu’luk, Umar bin Khattab dibunuh oleh Abu Lu'luk (Fairuz), seorang budak yg fanatik pada saat ia akan memimpin salat Subuh.
Pembunuhan ini konon dilatarbelakangi dendam pribadi Abu Lukluk (Fairuz) terhadap Umar. Fairuz merasa sakit hati atas kekalahan Persia, yg saat itu merupakan negara adidaya, oleh Umar. Peristiwa ini terjadi pada hari Rabu, 25 Dzulhijjah 23 H. Setelah wafat, jabatan khalifah dipegang oleh Usman bin Affan.
Hafsah hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yg ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin yg menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yg diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.”
Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yg menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.
Hafshah adalah seorang ahli ibadah yg khusyuk, senantiasa mengerjakan shalat pada malam hari, juga rajin berpuasa. Hafshah ra. menyaksikan kemenangan Islam serta berkembangluasnya negeri Islam. Dia meriwayatkan 60 hadits dari Rasulullah.
Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istri Nabi yg pandai membaca dan menulis.
Pada masa Rasul, al Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran² yg tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.
Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal al Qur’an banyak yg gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan al-Qur’an yg tercecer.
Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan bid'ah (sesuatu yg mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan). Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli al Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.
Ketika Sayyidina Hasan bin Ali dibaiat, Hafsah wafat. Hal itu terjadi pada bulan Jumadal Ula tahun 41 Hijriah.
(Sumber: Thabaqat Ibnu Sa'ad)
=Musa Muhammad=