'ASYURA adalah Hari Rasa Syukur Para Nabi

'ASYURA

Oleh: Ustadz @salimafillah

Pada mulanya, 'Asyura' adalah hari yang diliputi oleh rasa syukur para Nabi, dari Musa hingga Nuh, 'Alaihimassalaam sebab Allah menyelamatkan mereka bersama pengikut-pengikutnya yang beriman dari musuh dan siksa yang menimpa.

قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّه بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ 

“Nabi ﷺ tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari 'Asyura. Beliau ﷺ bertanya: "Apakah ini?” Mereka menjawab: ”Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur. Maka beliau Rasulullah ﷺ menjawab :”Aku lebih berhak terhadap Musa 'Alaihissalaam daripada kalian, maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami terhadap hari itu.” (HR Al Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, An Nasa'i, dan Al Baihaqi)

وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى

“Dan ini adalah hari mendaratnya kapal Nuh 'Aalaihissalaam di atas gunung 'Judiy' lalu Nabi Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur” (HR. Ahmad)

Maka kita menegakkan sunnah yang diteguhkan Rasulullah ﷺ itu dengan berpuasa dalam kesyukuran kepada Allah Subhaanahu wa Ta'alaa. Untuk menyelesihi orang-orang Ahli Kitab, kitapun berpuasa sehari sebelumnya (Tasu'a) sebagai pengiringnya sesuai pendapat terkuat. Atau menurut sebagian 'Ulama lebih utama juga dengan mengirinya dengan puasa sehari sebelum dan sehari sesudahnya. Apa keutamaannya?

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ 

“Dan Rasulullah ﷺ ditanya tentang puasa di hari 'Asyura, maka beliau menjawab: “Puasa itu bisa menghapuskan dosa-dosa pada 1 tahun lalu.” (HR Muslim, Abu Dawud, Ahmad, dan Al Baihaqi)

Sejak tahun 61 Hijriah, suasana syukur dalam hari 'Asyura bertambah dengan suasana dukacita bersebab gugurnya cucu tersayang Nabi ﷺ yakni Sayyidina Husain ibn 'Ali ibn Abi Thalib beserta keluarga dan pengikutnya di Karbala. Peristiwa memilukan ini terjadi karena pengkhianatan orang-orang rafidhi yang mengundang beliau ke 'Iraq sekaligus kezhaliman penguasa Daulah Bani 'Umayyah yang diujungtombaki pasukan pimpinan 'Ubaidillah ibn Ziyad.

Berikut kami salinkan tulisan Ust. Mohammad Fauzil 'Azhim tentang Karbala sebagai penjelasannya.

Dari peristiwa Karbala muncul fitnah besar dan 2 bid'ah yang paling buruk. Dan bagi Ahlussunnah wal Jama’ah, kedua-duanya harus kita tinggalkan sejauh-jauhnya.

Bid’ah pertama adalah meratap-ratap, menampar-nampar pipi, dan melukai diri sendiri. Inilah bid'ah tathbir dari Mukhtar bin Abi 'Ubaid Ats-Tsaqafi. Seperti apakah tathbir itu? Menyiksa diri, melukai diri sendiri. Meratap-ratap dan menyiksa diri sendiri seraya melaknati para sahabat radhiyallahu 'anhum ajma'in merupakan bid'ah besar Karbala yang terus dikerjakan oleh Rafidhah hingga masa kini. Sesiapa yang mengaku ahlussunnah wal jama'ah, maka ia harus menjauhi dan mengingkari bid'ah penyiksaan diri ini sejauh-jauhnya.

Bid'ah Karbala yang kedua adalah merayakan, bergembira dengan tragedi dan melakukan penyambutan khusus. Ini bid'ahnya Al Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Bid'ah merayakan dan bergembira atas tragedi Karbala merupakan bid'ah yang sangat buruk dari Nashibah, yakni pembenci keluarga Nabi (ahlul bayt Nabi) yang kita wajib mencintai. Dan Ahlussunnah menjauhi keduanya -Rafidhah dan Nashibah- sekaligus meyakini keduanya tercela.

'Ali ibn Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

لِيُحِبُّنِيْ رِجَالٌ يُدْخِلُهُمُ اللهُ بِحُبِّيْ النَّارَ وَيُبْغِضُنِيْ رِجَالٌ يُدْخِلُهُمُ اللهُ بِبُغْضِيْ النَّار

"Sungguh akan ada orang-orang yang dimasukkan oleh Allah ke neraka karena kecintaan mereka kepadaku. Dan sungguh akan ada orang-orang yang dimasukkan oleh Allah ke dalam neraka karena kebencian mereka kepadaku."

Kembali ke soal dua bid'ah yang sangat buruk dari peristiwa Karbala. Kedua jenis bid'ah itu sama-sama dimunculkan oleh orang dari suku Tsaqif. Ini mengingatkan kita kepada sebuah hadis. Rasulullah ﷺ bersabda:

سَيَكُوْنُ فِي ثَقِيْفٍ كَذَّابٌ وَمُبِيْرٌ

"Akan ada di suku Tsaqif seorang pendusta dan perusak." (HR. Muslim).

Sebagian 'ulama mengatakan bahwa pendusta itu adalah Mukhtar ibn Abi 'Ubaid Ats-Tsaqafi. Sedangkan perusak adalah Al Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Ahlus Sunnah wal Jama'ah meyakini keburukan kedua-duanya, menjauhi dua bid'ah tersebut dan meyakini syahidnya Al-Husain di Karbala. Meyakini Al-Husain radhiyallahu 'anhuma syahid di Karbala bukan lalu meratapi dan menyiksa diri. Bukan pula Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang mengingkari syahidnya Al-Husain Radhiyallahu 'Anhuma. Sebab, bukankah ia pemuka pemuda ahli surga?

Rasulullah ﷺ bersabda:

الحسن والحسين سيدا شباب أهل الجنّة

“Al-Hasan dan Al-Husain penghulu pemuda ahli surga.” (HR. Tirmidzi, Ahmad dan lainnya).

Sangat tidak mungkin cucu Nabi ini wafat dalam keadaan durhaka, sedangkan ia pasti menjadi pemuka pemuda ahli surga. Jika seorang Ahlussunah wal jJma'ah merasa sedih dan pilu saat membaca sirah tentang Karbala, itu sangat wajar. Tapi ia menjauhi meratap dan menyiksa diri.

Tentang Karbala, Ibnu Taimiyah berkata di dalam Majmu' Fatawa:

وأما من قتل الحسين أو أعان على قتله أو رضي بذلك فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين

"Sedangkan siapa yang membunuh Al-Husain, atau berperan dalam membunuhnya, atau merestui pembunuhan Husain, maka semoga dia dilaknat oleh Allah (Ta'ala), malaikat dan seluruh manusia."

Inilah sikap ahlussunnah wal jama'ah. Ibnu Hajar Al 'Asqalani pernah mengkritik sikap Ibnu Taimiyah terhadap ahlul bayt yang dinilai kurang respek terhadap ahlul-bayt. Tetapi bahkan pada sosok pribadi yang dinilai sebagian ulama ahlussunnah wal jama'ah lainnya kurang respek, kita tetap melihat ketegasan sikap atas Karbala. Ahlussunnah wal jama'ah menegakkan sikap terhadap syahidnya Al-Husain sebagaimana sikap Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, seorang sahabat. Ia memberi teguran keras kepada 'Ubaidullah bin Ziyad yang menghinakan cucu Nabi terkasih ini, mengingatkan kepadanya bahwa wajah ia pukul-pukulkan pedang kepadanya itu adalah wajah yang sering dicium oleh Rasulullah ﷺ. Dan siapakah yang mengingkari keutamaan Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu?

Demi Allah, aku tulis ini untuk menunjukkan kepada kalian tentang peristiwa yang para ulama ahlussunnah tidak mengingkari kesedihan atas wafatnya Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma yang telah dinistakan oleh 'Ubaidullah ibn Ziyad. Tengoklah sikap Zaid ibn Arqam radhiyallahu ‘anhu tatkala melihat Ubadillah ibn Ziyad menusuk-nusukkan pedangnya ke mata, bibir dan hidung Al-Husain. Perhatikan juga sikap jelas Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang ketika itu juga berada di sana dan memberi teguran kepada ‘Ubaidullah ibn Ziyad. Apakah yang dapat kalian katakan tentang para sahabat Nabi yang mulia ini?

Siapa yang mengingkari keutamaan Al-Husain radhiyallahu ‘anhu, hanya dua kemungkinannya: ia bodoh tentang agama ini atau ia seorang nashibi (pembenci ahlul bayt). Dan siapa yang karena kecintaannya kepada Al-Husain membenci para sahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in, maka dua pula kemungkinannya: ia bodoh tentang agama ini atau ia seorang rafidhi.

(*)
Baca juga :