AEK: Kekuasaan adalah candu. Bisa jadi itulah yang sedang dialami RI-1 (Presiden Jokowi)

Kekuasaan adalah candu. 

Bisa jadi itulah yang sedang dialami RI-1 (Presiden Jokowi).

Ia seolah tak mau kekuasaannya lekas berakhir.

Ia ogah ada pergantian pemain.

Banyak hal yang terjadi belakangan ini adalah akibat dari sikap politiknya untuk “cawe-cawe”. 

Mulai dari dugaan “cawe-cawe” perkara hukum yang menyentuh lawan politik, dugaan aksi “pembelotan” sejumlah kader banteng di mana seharusnya dia jadi petugas partai, hingga betapa ngototnya yang bersangkutan untuk cenderung berada di pihak China dalam hal kebijakan perekonomian.

Dalam status sebelumnya saya mengatakan Jokowi seperti membentuk “imperiumnya” sendiri terlepas dari partai dan ia gunakan sarana dan pengaruh yang ada padanya untuk mengendalikan situasi pra-elektoral saat ini.


Saya juga pernah menyatakan mengapa ia rela “mendegradasikan” dirinya sendiri dengan cara politik “cawe-cawe” adalah demi mempertahankan duit (baca: kekuasaan ekonomi) yang sebagian besarnya dikuasai oleh segelintir pemain besar di baliknya.


*

Max Lane, peneliti dari ISEAD-Yusof Ishak Institute, dalam tulisannya “Jokowi manoeuvres against Megawati in effort to secure political future in Indonesia” (Channel News Asia, 20 Juli 2023), mengamati gejala yang sama dengan saya.

Max menggarisbawahi beberapa hal: 
1) Jokowi ingin mengamankan masa depan politik dirinya dan keluarganya; 
2) sebagai petugas partai, ia justru melakukan menuver “cawe-cawe” yang “tidak biasa” 
3) ia tidak lagi sefrekuensi dengan Megawati Soekarnoputri; 
4) ia melihat dirinya adalah aktor politik yang terpisah dari PDIP dan sedang membangun basis untuk melanjutkan pengaruh (baca: kingmaker); 
5) ia tengah mencari organisasi formal yang bisa ia kuasai demi menjamin keamanan politiknya pascalengser; 
6) perbedaan orientasi/ideologi yang menajam antara PDIP yang bercorak Marhaen dengan Jokowi yang bercorak kapitalistik (deregulated free-flight capitalist economics).

Pada bulan-bulan awal periode keduanya berkuasa, saya sempat memelesetkan NKRI = Negara Kesatuan Rekapital Indonesia sebagai manifestasi kritik dan kekhawatiran saya terhadap corak pemerintahan ke depan.

Rekapital bisa berarti mengkapitalisasi kembali atau mungkin sekadar pelesetan nama sebuah lembaga jasa keuangan dan investasi di mana pendiri dan alumnusnya menempati posisi penting dalam pemerintahan Jokowi maupun menyusup di lawan politiknya. 

Baca: dua kaki!

Terlepas dari maraknya publikasi survei tingkat kepuasan publik yang tinggi terhadap pemerintahan Jokowi, agaknya kita perlu lebih kritis dan utuh melihat berbagai aspek lain.

Berikut salah satu contohnya:

Kemiskinan meningkat di sentra nikel seperti Maluku dan Sulawesi, menurut Data Profil Kemiskinan di Indonesia Maret 2023 yang dirilis BPS. Tingkat kemiskinan di Sulawesi adalah ketiga tertinggi nasional (10,08%) setelah Maluku dan Papua (19,68%). Hilirisasi tambang yang selama ini gencar dijalankan ternyata belum mampu mengerek kesejahteraan warga. (Kompas, 21 Juli 2023).

*

Dengan demikian terdapat jurang antara narasi positif yang dipublikasikan pihak yang berkuasa dan kenyataan empirisnya. 

Pengendalian ekonomi oleh segelintir orang secara tidak adil terlihat begitu telanjang (setidaknya di mata saya) yang berpotensi perkara hukum.

Saya juga menyoroti kental dan terang-terangannya konflik kepentingan antara aktor bisnis dan pejabat selama Jokowi berkuasa.

Perusahaan start-up (GOTO) kakak Menteri BUMN “disuntik” Rp6,4 triliun oleh perusahaan BUMN (Telkomsel).

Perusahaan investasi di bawah BUMN (Bahana TCW Investment) pun mengoleksi saham GOTO dan saham-saham perusahaan yang dimiliki/terafiliasi dengan kakak Menteri BUMN dalam portofolionya 

Lalu segelintir perusahaan digital (termasuk Tokopedia yang merger dengan GOTO) begitu mudahnya menerima pendapatan dari transaksi jual beli video pelatihan Kartu Prakerja yang anggarannya hingga saat ini mencapai lebih dari Rp20 triliun.

Sejumlah pejabat aktif juga nyambi berbisnis kendaraan listrik. Mereka bertindak ganda sebagai pemain sekaligus wasit.

Ada juga dugaan hapus buku kewajiban perusahaan yang diduga milik/terafiliasi kakak Menteri BUMN di anak perusahaan Pupuk Indonesia (Rekind) yang jumlahnya mencapai Rp1 triliun lebih.

Saya juga pernah meneriakkan satu dugaan skandal yang berkaitan dengan PT Saka Energi Indonesia (SEI)—entitas anak PT Perusahaan Gas Negara Tbk. (PGN)—saat mengakuisisi 20% Participating Interest (PI) Lapangan Kepodang, Blok Muriah, Jawa Tengah, dari Sunny Ridge Offshore Limited (SROL) yang berlaku efektif pada 16 Desember 2014.

Investasi pada sektor hulu semasa Direktur Utama PGN dijabat Hendi Prio Santoso (kini Dirut MIND.ID) itu DIDUGA merugikan keuangan negara sebesar hampir Rp1 triliun (US$70 juta).


*

Jika demikian, logis kiranya, sebelum terjebak dalam debat keberlanjutan vs perubahan, kita perlu menilai terlebih dahulu secara kritis dan objektif hasil pemerintahan sekarang.

Yang benar boleh terus, yang salah harus dihukum.

Saya menduga terdapat sejumlah kelompok yang diuntungkan secara ekonomi selama dua periode kekuasaan Jokowi menggunakan sarana, materi, pengaruh, dan lobi untuk mempertahankan kedudukan istimewanya saat ini, termasuk menjauhkan diri dari kemungkinan jerat hukum.

Saya pikir, pada Pemilu 2024, kita perlu naik kelas untuk setidaknya lebih memperhatikan dan menilai substansi ketimbang bungkus, sebelum menjatuhkan pilihan. 

Kita perlu tanyakan kepada para elite itu, di balik segala drama dan haha-hihi politik yang mereka pertontonkan, barang apa sesungguhnya yang sedang mereka transaksikan, berapa duitnya, dan siapa saja yang menikmatinya…

Salam.

(Agustinus Edy Kristianto)


Baca juga :