STANDAR GANDA ERICK THOHIR

STANDAR GANDA ERICK THOHIR

Catatan: Agustinus Edy Kristianto

Putra Erick Thohir (ET), Mahendra Agakhan Thohir (Aga), mundur dari jabatan Komisaris PT Persis Solo Saestu (27/8/2023).

Alasannya untuk menghindari KONFLIK KEPENTINGAN, sebab bapaknya adalah Ketua Umum PSSI.

ET bangga betul atas keputusan sang anak. 

"Proud of you, son."

Berita-berita pujian dengan naskah yang hampir mirip pun bermunculan di beberapa media online.

Narasumbernya seorang pengamat sepakbola dan akademisi salah satu kampus negeri di Yogyakarta.

Tentu bisa kita terka ujungnya: Erick Thohir calon wakil presiden paling cocok untuk Prabowo Subianto.

Ada lembaga bernama Algoritma Research and Consulting melansir hasil survei (26/6/2023): Sandiaga Uno dan Erick Thohir adalah dua nama paling kuat di bursa cawapres.

Sandi 11,3%. 

ET 10,3%.

Rasanya kita butuh mata kuliah tentang konflik kepentingan dari ET.

Kita mau tahu, mengapa dalam kasus Aga (hubungan bapak-anak) bisa ditafsirkan sebagai konflik kepentingan, sementara dalam kasus lain, seperti GOTO (hubungan kakak-adik), tidak demikian tafsirannya.

*

Per status ini diunggah, akta perubahan terakhir Persis Solo adalah Akta No. 10 tanggal 20 Maret 2021.

Aga adalah Komisaris. Bukan pemegang saham!

Pemegang saham Persis justru ET. Jumlahnya 1.000 lembar. Nominalnya Rp1.000.000.000.

Mayoritas saham Persis dikempit Kaesang Pangarep, anak bungsu Jokowi. 

Kaesang juga Dirut. Jumlah saham 2.000 lembar. Nominal Rp2.000.000.000. 

Komisaris tidak menjalankan fungsi eksekutorial. Tugas komisaris adalah pengawasan semata. 

Sementara ET sebagai pemegang saham memiliki hak suara dalam RUPS dan tentu saja berhak menikmati laba dalam rupa dividen atau capital gain. 

PSSI bukan lembaga negara. Ketua umumnya bukan kategori penyelenggara negara.

Ia tunduk di bawah aturan Statuta.

Sepanjang saya baca Statuta PSSI (edisi 2019), tak ada pasal spesifik yang mengatur tentang konflik kepentingan itu. 

Tapi, menurut saya, dari segi ETIKA, keputusan Aga tepat. 

ET juga tak salah berbangga hati atas keputusan putranya itu.

Masalahnya adalah STANDAR GANDA.

Seharusnya ET juga 'berbangga hati' karena kakaknya (Boy Thohir) berposisi sebagai Komisaris dan pemegang saham GOTO dan GOTO 'berhasil mendapatkan' suntikan Rp6,4 triliun dari Telkomsel (anak BUMN Telkom), sementara ET adalah Menteri BUMN-nya.

ET adalah penyelenggara negara sesuai peraturan perundang-undangan.

Larangan nepotisme mengikat baginya seperti diatur dalam Pasal 5 angka 4 jo. Pasal 22 UU 28/1999.

Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

*

Tapi, namanya juga Indonesia, sejak kapan prinsip dan konsistensi menjadi pegangan?

Rasanya justru lebih banyak yang terjerembab dalam ilusi dan jargon semacam 'orang baik' dan 'berakhlak' tanpa kritis menilai fakta.

Nilai-nilai tak menjadi acuan. Moralitas adalah barang kuno.

Karena sekalian bangsa ini 'permisif' terhadap bahaya konflik kepentingan maka standar ganda adalah hal biasa.

Tidak tahu malu adalah kehebatan. 

Terjadilah hal buruk yang diulang-ulang sehingga seolah menjadi 'karakter' bangsa.

Dugaan konflik kepentingan pun terjadi ketika perusahaan kakak ET lainnya (PT Panca Amara Utama/anak ESSA) berbisnis dengan Rekind (anak BUMN Pupuk Indonesia) yang akhirnya muncul sengketa mengenai pembayaran proyek pabrik amoniak Banggai.

Alhasil Rekind menderita kerugian. 

Bahkan Laporan Keuangan Pupuk Indonesia pun di-restatement untuk mengubah laba, yang diduga kuat ada kaitannya dengan sengketa Rekind. Nominalnya mencapai Rp1,3 triliun.

*

Mohon maaf, kita sering menjadikan kisah Firaun sebagai contoh buruk. Tuhan berkali-kali memberikan tulah untuk mengingatkan tapi Firaun tetap bebal.

Jangan-jangan kita pun demikian. 

Sekarang mau Pemilu 2024 dan modus sama tampaknya berlaku.

Beberapa bulan belakangan Jokowi terlihat bicara terus tentang keberlanjutan, hilirisasi nikel, menjadi negara maju...

Dia terlihat keras soal itu: tak boleh ada perubahan---bisa jadi mencakup perubahan kebijakan, perubahan arah dukungan geopolitik, perubahan kontraktor, perubahan nilai kontrak/hitung-hitungan bisnis, perubahan personel birokrasi kunci...

Saya, sih, bahasa terang saja: Jokowi condong ke China, yang salah satunya ada urusan bisnis nikel dengan Tsingshan Group (Xiang Guangda) yang kabarnya sudah menanam duit Rp450 triliun di Indonesia, yang menjadi satu ekosistem dengan bisnis kendaraan listrik, yang menjadi satu tarikan nafas dengan rencana Indonesia mempertahankan posisi sebagai produsen terbesar nikel dunia terutama untuk pasokan baterai kendaraan listrik, yang menjadi bagian dari rencana menjadi pusat bursa nikel dunia menyaingi London Metal Exchange, yang tentu saja juga menjadi komponen penting dari aksi spekulasi Xiang Guangda di bursa komoditas nikel dunia...

'Musuhnya' adalah AS dan sekutu baratnya. 

Itulah mengapa IMF meminta supaya Indonesia menghapus larangan ekspor nikel. 

Itulah mengapa sebuah hedge fund AS, Elliott Associates, menuntut London Metal Exchange (LME) US$456 juta (sekitar Rp6,8 triliun). 

LME dianggap 'membantu' Xiang Guangda pada tahun lalu dengan cara menghentikan perdagangan ketika harga nikel dunia melambung tinggi (sampai US$100 ribu/ton) yang potensial merugikan Xiang Guangda (Tsingshan) yang memegang posisi short (bertaruh harga turun) di market. (Silakan baca analisis kawan saya Yanuar Rizky berikut ini: https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=10227471936838292&id=1059427254&mibextid=qC1gEa)

*

Bagi saya, pemenang Pemilu 2024 sudah bisa ditentukan sekarang: elite bisnis tambang/SDA, spekulan bursa, dan pejabat penikmat rente.

Pada Pemilu 2019, ketika bangsa ini terpolarisasi, para elite itu memasang posisi di semua kaki. 

Si A jadi wapres sini, si B jadi Ketua Tim Sukses lawannya. 

Salah satu 'legasinya' adalah UU Cipta Kerja, yang begitu dominan peran pengusaha tambang di balik penyusunannya. 

Sukses lainnya adalah perpanjangan izin pertambangan perusahaan para taipan batubara.

Sekarang tak jauh beda.

Terlihat dari dua cawapres terkuat versi Algoritma: Sandi dan ET.

Si A di capres ini, si B ditaruh di capres itu.

Kental dugaan campur tangan elite tambang/nikel.

Kental potensi konflik kepentingan.

Kakak ET bersekutu dengan Tsingshan di PT Merdeka Tsingshan Indonesia (MTI), yang 80% sahamnya milik PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) dan 20% milik Eternal Tsingshan Group Limited.

PT Merdeka Energi Nusantara (MEN) menguasai 49,7% saham MBMA. Kakak ET 11,081%. 

99,9% saham MEN dikuasai PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA). PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) kuasai 18,5% saham MDKA dan Boy Thohir pegang 7,3%.

Sandi Uno pegang 21,5% MDKA. Sisanya Edwin Soeryadjaya (33,1%) dan PT Unitrans Pertama (32,7%).

Muter di situ-situ aja orangnya...

Belum lagi kita bicara mulai dari pengusaha terkaya hingga menteri senior dan pejabat ring 1 Istana punya bisnis kendaraan listrik. 

*

Pilpres 2024 sepertinya akan 'dipilkadasolokan'.

Narasinya 'kebenaran tunggal'.

Topik tentang agama hanya jadi alat sepanjang kepentingan perut elite tercapai.

Pemilu dibuat cepat selesai (satu putaran saja), dibuat menang telak, jika perlu lawannya adalah orang tapi bak kotak kosong, dibuat tidak perlu kritis-kritis amat, tahu beres, semua diurus oligarki yang ada sekarang.

Kubu perubahan bisa apa?

Mau jadi kotak kosong, ikutan berburu rente, atau apa?

Jika mau menyerah, menyerahlah sekarang. 

Jika menolak tunduk, tunjukkan perlawanan yang lebih cerdas!

Salam.

(Agustinus Edy Kristianto)

*sumber: fb penulis
Baca juga :