SEANDAINYA RASULULLAH TIDAK MENCIUMMU

SEANDAINYA RASULULLAH TIDAK MENCIUMMU

“Sesungguhnya Hajar Aswad memiliki lidah dan bibir yang dapat memberikan kesaksian terhadap orang yang mencium atau menyentuhnya pada hari kiamat dengan jujur.” 

(Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Sunan Ibnu Majah, al-Mustadrak al-Hakim, dan Musnad Imam Ahmad)

Saat berumrah tahun 2016, saya memiliki pengalaman istimewa tentang ‘hajar aswad’. Ya, batu surga yang diletakkan di pojok sisi kiri bawah pintu ka’bah atau ‘multazam’ itu. Waktu itu saya berusaha keras meraihnya, ingin menciumnya, tanpa benar-benar tahu alasannya. Yang saya tahu hanya bahwa batu itu istimewa, itulah mengapa banyak orang menginginkan menyentuh dan menciumnya. Saya pun mengikuti kerumunan. Tak mau ketinggalan.

Pagi-pagi sekitar pukul 10.00 saya keluar dari hotel dengan pakaian yang bersih dan wangi. Berkacamata hitam. Memakai jam tangan yang baru saya beli sebelum berangkat ke Makkah. Dalam hati saya berkata, “Alhamdulillah saya bisa berumrah, berkunjung ke baitullah, dengan pakaian dan penampilan yang pantas.” Tanpa sadar, terbersit rasa ujub, seraya mempertanyakan mengapa yang lain tidak membersihkan dan memantaskan diri datang ke baitullah? Bahkan berpakaian kumal dan bau.

Saya pun tawaf sunnah tujuh putaran. Lalu entah bagaimana ada dorongan hati untuk ikut ‘memburu’ hajar aswad. “Saya masih muda dan kuat,” Pikir saya waktu itu, “Dan mumpung sendiri, tidak sama istri”. Maka sayapun berjibaku menjadi ‘pejuang’ hajar aswad. Saya kerahkan segenap tenaga. Saat orang merangsek, saya ikut merangsek. Saat orang mendorong, saya ikut mendorong. Hingga saya terjepit di antara tubuh-tubuh raksasa. Kemudian terpental. Lalu terpental lagi. Dan terpental lagi. Hingga saya menyerah. Saya gagal meraih ‘hajar aswad’. 
Konon, tanah suci memang tempat di mana segala keburukan mendapatkan hukuman seketika. Meskipun hanya yang terbersit dalam hati. Siang itu saya pulang ke hotel dengan keadaan yang sangat lusuh, baju penuh keringat, badan yang bau, dan jam tangan baru yang saya banggakan: Hilang! Saya hanya bisa memohon ampun kepada Allah atas segala perangai buruk saya, termasuk rasa ujub pada diri sendiri—yang sama sekali tidak pada tempatnya. Untungnya waktu itu saya cepat tersadar.

Sebelum berhaji tahun 2023 ini, sebenarnya saya berkesempatan berumrah tiga kali kali dalam rentang 2016-2023. Selama itu, karena ‘trauma’ pada hajar aswad, saya tak pernah mencoba meraih atau menciumnya. Setiap kali tawaf dan tiba di ‘rukun yamani’ saya biasanya melebar, menjauhi ‘rukun hajar aswad’ yang padat. Saya sadar diri mungkin tak mampu atau tak pantas mendapatkannya. Peristiwa tahun 2016 selalu terbayang.

‘Hajar aswad’ atau terjemahan letterlijk-nya ‘batu hitam’ adalah batu yang diyakini turun dari surga sebagai petunjuk bagi Nabi Adam dan Siti Hawa untuk membangun sebuah ‘mezbah’—tempat untuk mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan, yang dibuat seseorang di jaman dahulu untuk bisa berhubungan dengan Tuhan. Konon pada awalnya ‘hajar aswad’ berwarna putih terang, memancarkan cahaya yang bisa menerangi jazirah Arab. Tetapi, seiring waktu, karena menyedot dosa-dosa kemusyrikan manusia, batu ini menjadi hitam pekat.
Hajar aswad pertama kali ditemukan oleh Nabi Ismail saat akan membangun ka’bah. Lalu Nabi Ibrahim meletakkannya di bagunan kubus itu. Dalam sejarah Islam, pada tahun 605 M, lima tahun sebelum kenabian, Nabi Muhammad memegang andil besar meletakkan batu tersebut di pojok kiri bawah samping multazam—saat terjadi perseteruan antar-kabilah tentang siapa yang berhak meletakkan batu mulia itu di ka’bah. Dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya, Muhammad bin Abdullah meletakkan batu itu di atas sebuah surban dan meminta para pimpinan kabilah memegang setiap ujungnya.

Di sanalah kini hajar aswad berada, sebagaiaman dulu diletakkan Rasulullah. Setiap kali beliau bertawaf, Sang Nabi menyempatkan diri menyentuh dan menciumnya. Sampai hari ini, jutaan orang telah mengikuti sunnah itu. Setiap tawaf, rukun hajar aswad menjadi salah satu titik  di mana banyak orang berebut ingin menyentuh dan menciumnya.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Ubaid bin Umari, dari ayahnya, ia berkata, “Sesungguhnya Ibnu Umar pernah berebut berdesak-desakan untuk mendekati dua rukun (Hajar Aswad dan Rukun Yamani). Sebelumnya, aku tidak pernah melihat seorang pun sahabat Rasulullah SAW yang berdesakan seperti itu. Lantas aku berucap, ‘Wahai Abdurrahman, mengapa engkau mendekati dua rukun dengan berdesak-desakan seperti itu? Tidak pernah kulihat seorang pun sahabat Rasulullah SAW yang seperti itu.’

Dia menjawab, ‘Aku melakukannya karena mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya mengusap Hajar Aswad dan Rukun Yamani bisa menghapus dosa.’ Aku juga mendengar beliau bersabda, ‘Orang yang melakukan tawaf di Baitullah selama satu minggu dan menyempurnakannya, pahalanya sama seperti membebaskan seorang hamba sahaya.’

Aku mendengar beliau bersabda, ‘Tidaklah ia menginjakkan satu kaki dan mengangkat yang lainnya, kecuali Allah akan menghapus dosanya dan menetapkan kebaikan kepada dirinya.’”

Hadits ini menjadi landasan orang-orang berebut hajar aswad hingga hari ini. Di setiap tawaf, kita akan melihat puluhan atau ratusan orang berdesakan meraih hajar aswad dan menciuminya. Bahkan muncul ‘jasa’ untuk memandu orang memastikan bisa mencium hajar aswad. Harganya ratusan bahkan ribuan riyal. Dipandu oleh sekelompok orang berbadan tinggi besar yang siap ‘menyingkirkan’ yang lain. Ada saja orang yang memakai jasa mereka, meski dilarang askar.

Sore itu, 24 Dzulqaidah 1444 H, saat saya melakukan tawaf setelah umrah wajib, tiba-tiba saya berada di dinding ka’bah. Sebuah arus entah bagimana membuat saya berada di sana. Tentu saya tak menyia-nyiakan anugerah itu dan saya akhirnya berdoa di sana—dengan dua tangan menangkup di dinding ka’bah. Wangi kesturi yang khas menguar dari tubuh bangunan berbentuk kubus itu. Berdoa di sana, rasanya berbeda, jeritan hati hanya bisa diterjemahkan dengan lelehan air mata yang tak kunjung berhenti.

Hingga tibalah saat itu. Ternyata beberapa meter saja di samping kanan saya adalah ‘rukun hajar aswad’. Orang-orang tengah berjibaku memburu batu hitam itu sekuat tenaga. Dan entah bagaimana sebuah arus tiba-tiba menyentak saya dari belakang, membuat saya berada di antara orang-orang yang berdesakan menuju hajar aswad.

Kenangan tahun 2016 tiba-tiba datang. Ada rasa takut dalam diri saya. Takut saya belum pantas meraih hajar aswad, takut kecewa jika saya menginginkannya dan tak bisa meraihnya. Tapi saya sudah terlanjur berada di sana.

Akhirnya, di tengah himpitan tubuh-tubuh raksasa di sekeliling saya, keringat orang lain yang menempel di pipi, kacamata yang hampir copot, kain ihram yang terjepit dan tertarik, saya memasrahkan diri. Saya tak menggunakan tenaga saya sedikitpun, hanya pasrah berada di tengah arus dan gelombang besar yang diciptakan manusia-manusia di sekeliling saya. Tangan saya sidekapkan di perut, seperti sedang shalat. Dan mata saya pejamkan.

Di sana, saya hanya ingat perkataan Umar bin Khattab, “Sungguh aku tahu bahwa engkau hanyalah batu yang tidak membahayakan dan tidak berguna. Andaikan aku tidak melihat Nabi SAW menciummu, maka kau tidak akan menciummu.” 

Kalimat ini yang saya katakan juga kepada diri saya sendiri, “Wahai batu hitam, seandainya Rasulullah tidak menciummu, aku tak akan berada di tengah himpitan manusia seperti ini untuk menciummu.”

Dan kemudian sebuah energi besar menyedot saya, hajar aswad tinggal terpisah satu kepala lagi di hadapan saya. Tinggal saya menunggu satu orang itu selesai lalu saya bisa meraih dan menciumnya. Muncul pikiran dalam diri saya, “Ah, akhirnya, kali ini saya bisa mencium hajar aswad.” Tapi saat pikiran itu datang, tiba-tiba saya terlempar ke beberapa baris di belakang!

Barangkali di sinilah kita harus belajar makna ‘taslim’, berjuang untuk berserah. Tak boleh ada ego yang mendikte realitas yang lebih tinggi. Tak boleh ada keinginan jika tidak diizinkan. Maka saya pun memasrahkan diri sekali lagi. Sepasrah-pasrahnya. Hingga akhirnya hajar aswad terasa dekat lagi, tapi kemudian menjuh lagi.

Baru pada gelombang ketiga, percobaan ketiga, setelah askar menyingkirkan banyak orang dari sana, saya tiba-tiba berada di sisi kanan hajar aswad, di bawah pintu multazam… lalu entah bagaimana kemudian kepala tersedot dan masuk ke dalam bingkai hajar aswad.

Dan inilah hajar aswad itu! Di hadapan wajah saya. Fragmen batu-batu kecil yang dihaluskan oleh tangan dan bibir jutaan manusia yang pernah menyentuh dan menciumnya. Lingkaran yang membingkai hajar aswad kemudian melingkari wajah saya sepenuhnya. Dan di sana saya hanya bisa menangis, di antara rasa percaya dan tidak, di antara senang dan sedih, di antara takut dan harap. Di mulut hajar aswad saya meneriakkan satu sumpah, “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah!”
Sementara desakan dari belakang makin kuat, saya hanya menyelipkan satu doa: “Semoga Allah menetapkan saya dalam iman dan Islam. Semoga Rasulullah berkenan untuk hidup dan cinta yang saya jalani.”

Keluar dari kerumunan itu, saya merasa lega dan bahagia. Rasanya ada energi yang sangat besar baru saja disuntikkan ke dalam diri saya. Rasanya luar biasa. Seperti angin masjidil haram yang terasa dingin menerpa wajah yang panas dan basah oleh keringat. Ternyata ini rasanya ‘taslim’, memasrahkan semuanya, berjuang untuk berserah.

… Maka sampaikanlah kepada hati-hati yang lelah, jangan berputus asa pada rahmat dan kasih sayang Allah.

Allahu akbar!

Makkah, 3 Dzulhijjah 1444H

(FAHD PAHDEPIE)
Baca juga :