[PORTAL-ISLAM.ID] Salah satu artis hijrah yang sikapnya layak diteladani adalah almarhum Harry Moekti (25 Maret 1957 – 24 Juni 2018).
Beliau dulunya (dulu sekali, sebelum anak-anak Gen Z lahir), adalah seorang artis besar, rocker yang bergelimang harta sekaligus bergelimang maksiat, sebagaimana pengakuan beliau sendiri. Setelah hijrah, beliau meninggalkan sepenuhnya dunia keartisan dan dunia musik yang membesarkan beliau.
Sikap ini menarik, karena HTI sebagai kelompok yang menjadi wasilah hijrahnya beliau, sebenarnya longgar dalam hukum musik. Tapi beliau yang tahu betul "dalaman" dunia artis dan dunia musik, tampaknya lebih memilih menyelamatkan diri dan meninggalkan dunia tersebut sepenuhnya, daripada mencari berbagai "dalih pembenaran" yang malah berisiko membuat hijrah beliau gagal.
Sebagai seorang dai, tentu beliau juga ada kelemahan. Bahkan mungkin, jika ada yang memberi standar ustadz itu harus mampu baca kitab kuning, menguasai berbagai masail fiqih, nahwu, dll., dan fasih mengutip kalam para ulama dari sumber primernya, mungkin beliau belum memenuhi standar itu. Tapi kebaikan beliau tentu juga ada dan banyak. Setiap orang memang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Namun sikap seperti beliau ini, menjadi semacam mata air di tengah fenomena sebagian "artis hijrah" atau "hijrah artis" yang serba nanggung saat ini.
Perubahan perlu proses dan penahapan, itu betul. Saya sepakat sekali. Tapi proses dan penahapan itu seharusnya tetap terlihat progresnya. Bukan malah tetap asyik dengan dunia glamor dan berbagai tetek bengek yang mengitarinya, tanpa sedikit pun merasa risih.
Yang lebih buruk lagi, jika ada kesengajaan dari sebagian pembimbing para artis hijrah ini, untuk membuat mereka merasa nyaman dengan kondisi yang tidak ideal. Mencari dalih pembenaran atas kelemahan mereka dalam meninggalkan keburukan.
Meninggalkan keburukan perlu penahapan, tapi penahapan itu harusnya maju ke depan, menuju keadaan yang lebih baik dan lebih Islami. Bukan malah mundur, dan dibuat nyaman dengan sikap mundurnya tersebut.
(Ustadz Muhammad Abduh Negara)