Penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong menghilangkan bukti kejahatan HAM berat di Aceh. Demi seremoni sebuah program.
Hancur Rumah Geudong demi Acara Jakarta
SEPEKAN terakhir, persiapan kick-off penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu amat terasa di Desa Bili. Sontak, desa di wilayah Kemukiman Aron, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, itu dibanjiri pendatang. Mereka sepenuhnya terkonsentrasi di area Rumoh Geudong, bangunan yang pernah dijadikan markas tentara pada masa pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) pada 1989-1998.
Kemarin, di tempat itu telah berdiri tenda roder yang didominasi warna merah-putih. Untuk mendirikan tenda itu, alat berat dikerahkan. Beberapa pohon terpaksa dibabat habis. Sebagian sisa bangunan Rumoh Geudong berupa dinding tembok juga diratakan dengan tanah sejak pekan lalu. “Tidak ada pemberitahuan tentang rencana pembongkaran (sisa bangunan) Rumoh Geudong," kata Saifuddin, warga Geuleumpang Minyeuk, Kabupaten Pidie.
Saifuddin merasa berkepentingan dengan keberadaan Rumoh Geudong. Pria berusia 30 tahun itu adalah salah satu penyintas konflik Aceh yang pernah menjadi korban penyiksaan. Ketika masih berusia 4 tahun, ia dibawa ke Rumoh Geudong dan disiksa aparat militer. Penyiksaan itu dilakukan semata-mata agar ayahnya, M. Adam Ismail, mengakui tuduhan sebagai penyelundup senjata. “Sempat disetrum di sebuah ruangan yang ada meja terbuat dari ban mobil truk,” kata Saifuddin.
Ingatan Saifuddin sebenarnya samar-samar tentang peristiwa ini. Namun ayahnya beberapa kali bercerita untuk memperkuat ingatannya. Selain disetrum, menurut cerita ayahnya, kaki Saifuddin sempat digantung oleh tentara dan dia diancam akan dicemplungkan ke sumur.
Karena itu, mempertahankan keberadaan Rumoh Geudong sangat berarti bagi Saifuddin. Ia tidak mau kisah kelam masa kecilnya dilupakan orang. Paling tidak, dengan mengingat peristiwa itu, dia bisa terus berharap kejadian serupa tidak akan terulang di masa depan.
Saifuddin tidak menolak rencana pemerintah memberikan keadilan kepada korban pelanggaran HAM lewat penyelesaian non-yudisial. Namun dia tetap menginginkan pelaku penyiksaan mendapat ganjaran setimpal. "Saya ingin yudisial dijalankan juga karena kita berharap kejahatan di Rumoh Geudong tidak kembali terulang di Aceh,” kata Saifuddin.
Pada 2018, Komisi Nasional Ham Asasi Manusia (Komnas HAM) telah merampungkan penyelidikan atas kasus pembunuhan, penyiksaan, perampasan kebebasan, pemerkosaan, dan bentuk kekerasan seksual lainnya di masa pemberlakuan daerah operasi militer (DOM) Aceh pada periode 1989-1998. ABRI diduga melaksanakan Operasi Jaring Merah, dengan Pos Satuan Taktis (Sattis) Utama di Rumoh Geudong, Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie. Namun penyelidikan kasus ini, juga kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya, tak jelas nasibnya. Alih-alih mengadili para pelaku, pemerintah belakangan menghidupkan lagi upaya penyelesaian di luar jalur pengadilan alias non-yudisial.
Sisa Bangunan Rumoh Geudong Dibongkar
Penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong terjadi menyusul rencana Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (TPPHAM), tim bentukan Presiden Joko Widodo pada September tahun lalu, menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat peluncuran program yang akan digelar besok, Selasa, 27 Juni 2023. Rencana kick-off ini diinisiasi oleh Ketua Pengarah TPPHAM, Mahfud Md.
Berdasarkan hasil rapat pada 16 Mei 2023, yang dokumennya diperoleh Tempo, pembahasan tentang kick-off besok sudah dilakukan jauh-jauh hari. Rapat itu dihadiri perwakilan sejumlah kementerian dan lembaga. Rapat dilanjutkan dengan koordinasi tim teknis panitia kick-off bersama Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Aceh. Dalam rapat pada 16 Mei itu, sudah terdapat hasil survei dan kajian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tentang lokasi kegiatan kick-off. Ada tiga lokasi yang menjadi opsi, yakni Rumoh Geudong, Simpang KKA di Aceh Utara, dan Jambo Keupok di Aceh Selatan.
Rumoh Geudong akhirnya dipilih karena jarak tempuh dari Kota Banda Aceh hanya membutuhkan waktu sekitar dua jam. Selain itu, area Rumoh Geudong cukup luas, sekitar 12 ribu meter persegi, sehingga berpotensi dikembangkan menjadi rumah ibadah ataupun monumen. Rapat itu kemudian membahas penentuan waktu, tempat, dan konsep acara.
Wakil Ketua Pelaksana TPPHAM, Ifdhal Kasim, mengatakan, setelah konsep itu disepakati, ia bertolak ke Aceh untuk bertemu dengan Gubernur Aceh, Bupati Pidie, dan Bupati Aceh Utara. Pertemuan itu membahas rencana menjadikan Rumoh Geudong sebagai lokasi kick-off pada 27 Juni besok. “Kami juga datang bertemu dengan korban dan tokoh di sana,” katanya.
Menurut Ifdhal, untuk persiapan, pemerintah daerah mendapat tanggung jawab penyediaan lahan. Sementara itu, pemerintah pusat mengkoordinasi kementerian-kementerian untuk hadir.
(Pekerja merobohkan Rumoh Geudong di Desa Bili, Kemukiman Aron, Kabupaten Pidie, Aceh, 23 Juni 2023. ANTARA/Mira Ulfa)
Ifdhal membantah bahwa persiapan yang dilakukan pemerintah telah merusak situs Rumoh Geudong. Sebab, di lokasi itu memang sudah tidak ada lagi bangunan. Peninggalan-peninggalan bangunan yang tersisa hanya tangga, sumur, ruang kamar mandi, dan tembok besar. “Tembok memang dirobohkan,” kata Ifdhal. “Tangga masih ada. Sumur juga, tapi ditutup dulu untuk kepentingan kick-off.”
Dalam pertemuan dengan pemerintah daerah, kata Ifdhal, disepakati untuk membangun taman memorial di bekas Rumoh Geudong. Pembangunan masjid juga masuk dalam perencanaan. Semua rencana itu didasarkan atas usulan dan keinginan korban, masyarakat setempat, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah. Namun dia tidak menjelaskan bagaimana proses penyerapan aspirasi para korban. “Intinya, tim Kementerian PUPR sedang membuat desain taman dan masjid,” katanya. “Nanti masjid berada di belakang, depannya taman.”
Pemerintah Kabupaten Pidie telah membeli tanah di lokasi Rumoh Geudong. Sebelumnya, tanah itu tercatat milik pribadi. Pembangunan taman dan masjid baru dimulai setelah seluruh dokumen kepemilikan sudah atas nama pemerintah. “Nanti kami mendengarkan aspirasi korban dan pendamping korban. Kami membuka diri terhadap setiap masukan,” kata Ifdhal.
Penjabat Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto, membenarkan bahwa pihaknya telah membebaskan lahan seluas kurang-lebih 7.000 meter persegi di lokasi Rumoh Geudong. Untuk pembebasan lahan itu, pemerintah menggelontorkan dana Rp 4 miliar yang bersumber dari Belanja Tak Terduga (BTT) Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten Pidie. “Pembebasan lahan emang alot karena semula ahli waris keberatan melepasnya,” kata dia. “Tapi sudah selesai. Kami berencana bangun tempat ibadah, seperti masjid.”
Tak Mewakili Keinginan Korban
Manajer Program Indonesia Asia Justice and Rights (AJAR), Mulki Makmun, menyayangkan penghancuran bekas Rumoh Geudong. Sisa bangunan Rumoh Geudong seharusnya dipertahankan sebagai pengingat bahwa di tempat itu pernah terjadi pelanggaran HAM berat. Dengan demikian, tempat itu bisa dijadikan pembelajaran supaya kejadian serupa tidak berulang. “Bukannya justru menghilangkan situs sejarah pelanggaran HAM berat,” kata Mulki.
Menurut Mulki, sejak 2017, para penyintas konflik—khususnya di Pidie—telah menjadikan Rumoh Geudong sebagai lokasi ziarah. Mereka menganggap tempat itu sebagai permakaman keluarga atau kerabat. “Sebab, banyak korban yang hilang dan hingga kini tidak ditemukan jasadnya,” kata dia. “Makanya para korban membuat tugu memorialisasi pada 2018."
Mulki mengatakan, korban sebenarnya sejak lama telah meminta kepada pemerintah daerah agar membeli tanah Rumoh Geudong. Sebab, ketika korban datang untuk berdoa, tempat itu sering kali digembok oleh ahli waris. “Jadi, supaya mereka bisa berdoa bersama, bisa mengunjungi bersama, Bupati kala itu berjanji untuk membelinya dan diserahkan kepada rakyat,” ujarnya.
Bertahun-tahun permintaan korban dan keluarga korban ini tak pernah dikabulkan. Namun, dalam waktu cepat, Pemerintah Kabupaten Pidie membelinya setelah lokasi tersebut dijadikan peluncuran program penyelesaian kasus HAM berat di luar pengadilan.
Mulki menuturkan TPPHAM dan pemerintah daerah memang pernah menggelar survei lapangan pada 15 Mei 2023. Namun saat itu mereka sama sekali tidak meminta pendapat dari para korban tentang keberadaan Rumoh Geudong. Lalu tiba-tiba sekarang muncul rencana pembangunan taman dan masjid yang diklaim itu berdasarkan keinginan masyarakat. “Jadi, dipertanyakan, apakah rencana itu sesuai dengan keinginan korban?” katanya. “Berbeda dengan pembuatan tugu memorialisasi pada 2018 yang jelas atas keinginan para korban.”
Rencana pemerintah membangun taman dan masjid juga tidak mewakili keinginan korban dalam upaya memorialisasi. Memorialisasi adalah bentuk pemulihan kolektif berupa pembangunan tugu peringatan, museum, dan penetapan hari-hari peringatan. Situs memorialisasi dibuat setelah adanya permintaan maaf. Pihak berwenang yang menerapkan kebijakan memorialisasi juga harus benar-benar mewakili pandangan para korban. Sebab, proses ini merupakan wujud dari pemenuhan hak atas kebenaran.
“Misalnya, Komnas Perempuan pada 13 Mei 2015 meresmikan prasasti Peringatan Korban Kerusuhan Mei 1998, bertepatan dengan Kerusuhan Mei 1998,” kata Mulki. Pembuatan prasasti ini didasarkan pada keinginan korban, bahkan bentuknya juga disesuaikan. “Jadi, pemulihan ini tak bisa bentuknya top down. Kalau balik ke sana, sama saja dengan rezim otoriter.”
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, berpendapat bahwa Rumoh Geudong merupakan situs sejarah penting yang berhubungan dengan pelanggaran HAM berat. Tempat itu juga menjadi bukti adanya kejahatan sangat serius oleh negara. Penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong justru menimbulkan pertanyaan tentang keseriusan negara dalam upaya menuliskan sejarah Indonesia.
“Situs ini telah menjadi monumen peringatan karena memiliki nilai budaya, sejarah, dan simbolik yang sangat besar,” kata Usman. Keberadaan situs itu menjadi pengingat akan penderitaan yang dialami rakyat Aceh selama konflik bersenjata. “Seharusnya monumen ini dirawat, bukan dihancurkan.”
Pendapat serupa disampaikan Wakil Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra. Menurut dia, penghancuran Rumoh Geudong merupakan upaya sistematis untuk mengaburkan peristiwa kejahatan oleh negara selama operasi militer di Aceh. Tidak tertutup kemungkinan penghancuran situs pelanggaran HAM berat ini akan terjadi juga di daerah lain. "Dengan penghancuran itu, pelanggaran HAM berat masa lalu seolah-olah sudah diselesaikan melalui TPPHAM,” katanya.
[Koran Tempo, Senin, 26 Juni 2023]