Pupus Total Harapan kepada KPK
KEPUTUSAN Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan pelanggaran etik Firli Bahuri dalam tiga kasus berbeda sungguh mengecewakan, meski tak mengejutkan. Keputusan itu sudah bisa diprediksi jauh-jauh hari. Di era pimpinan KPK sekarang, Dewan Pengawas tak lebih dari tukang stempel yang disetel sesuai dengan keinginan penguasa.
Kasus pertama Firli adalah membocorkan dokumen penyelidikan dugaan korupsi di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ketika itu, 27 Maret 2023, penyelidik KPK menggeledah ruang Muhammad Idris Froyoto Sihite, Pelaksana Harian Direktur Jenderal Batu Bara dan Mineral Kementerian ESDM, untuk dugaan korupsi tunjangan kinerja Kementerian ESDM periode 2020-2022.
Saat penggeledahan itu, penyelidik memperoleh tiga lembar dokumen hasil penyelidikan KPK tentang dugaan korupsi izin usaha pertambangan (IUP). Kepada penyelidik, Sihite mengaku dokumen itu ia dapatkan dari Menteri ESDM Arifin Tasrif yang mendapatkannya dari Firli Bahuri. Saat diperiksa Dewan Pengawas, Sihite mengubah keterangannya bahwa dokumen itu ia peroleh dari seorang pengusaha bernama Suryo di Hotel Sari San Pacific.
Kepada Dewan Pengawas, Suryo menyangkal telah memberikan dokumen tersebut. Keterangan keduanya bertahan hingga Dewan Pengawas memutuskan tak ada bukti Firli yang membocorkan dokumen tersebut. Dewan Pengawas tak menyelidiki lebih jauh kamera-kamera pengawas di sekitar hari penggeledahan untuk mengetahui pergerakan Sihite. Dewan Pengawas percaya pada keterangan Sihite soal penyebutan Firli untuk menggertak penyidik serta ketiadaan jejak komunikasi Firli dan Sihite di telepon selulernya.
Dalam kasus pemberhentian Brigadir Jenderal Endar Priantoro dari posisi Direktur Penyelidikan KPK pun Dewan Pengawas menilai Firli tak melanggar etik karena pemecatan itu merupakan keputusan kolektif pimpinan KPK. Padahal, persoalannya, di balik pemecatan itu adalah dugaan konflik keduanya karena Endar Priantoro dikabarkan menolak melanjutkan penyelidikan dugaan korupsi balapan Formula-E yang melibatkan Gubernur Anies Baswedan.
Di lingkup internal KPK, para penyidik bercerita bahwa Firli hendak memaksakan penyelidikan korupsi Formula-E meski tak cukup bukti. Penyidikan Formula-E akan mengubah konstelasi politik, mengingat Anies Baswedan sudah jadi calon presiden yang diusung koalisi Partai NasDem, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera. Anies adalah calon yang tak mendapat dukungan dari Presiden Joko Widodo, atasan Firli.
Keputusan Dewan Pengawas menghentikan gugatan Endar Priantoro membuat latar belakang perseteruan keduanya tetap berkabut. Publik kehilangan hak mengetahui pemecatan itu berlatar belakang politis. Sebab, jika benar pemecatan itu karena kasus Formula-E, publik akan makin percaya bahwa lembaga ini sudah tak independen. Sebaliknya, jika tak ada muatan politis, Dewan Pengawas gagal membuktikan KPK bersih dari tekanan-tekanan politik.
Kasus terakhir lebih menggelikan. Firli diduga melanggar etik karena memberikan penghargaan kepada istrinya sendiri, Ardina Safitri, yang menciptakan himne KPK. Jika untuk hal sejelas ini Dewan Pengawas tak bisa melihat konflik kepentingan, badan yang mewakili Presiden ini tak bisa diharapkan menjunjung integritas. Padahal konflik kepentingan merupakan awal mula korupsi yang amat ditentang ada di lembaga antikorupsi.
Keputusan membebaskan Firli dari problem etik itu menambah keyakinan publik bahwa Dewan Pengawas pun bertindak seperti lembaga politik. Apalagi, beberapa waktu sebelumnya, ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menambah panjang satu tahun masa jabatan pimpinan KPK. Dengan adanya putusan itu, Firli akan bertugas hingga selesai Pemilu 2024. Hukuman pelanggaran etik akan mengempaskan kewenangan Firli menyidik musuh-musuh politik penguasa tanpa bukti.
Argumen tak menemukan bukti pelanggaran etik dalam tiga kasus itu juga terkesan dipaksakan dan tanpa bukti memadai. Jika sudah begini, kehancuran KPK semakin nyata. Selain pimpinannya acap bertindak melanggar prinsip akuntabilitas dan prosedural, Dewan Pengawas yang diharapkan menegakkan nilai-nilai pemberantasan korupsi pun sama derajatnya.
KPK, yang kini berada di rumpun eksekutif akibat revisi Undang-Undang KPK, kian menegaskan bahwa lembaga ini tak independen dari atas sampai bawah. Dewan Pengawas KPK menghentikan harapan lembaga antikorupsi ini kembali menjadi badan pencegah dan pemberantas korupsi yang berintegritas.
KPK adalah lembaga yang lahir sebagai hasil Reformasi 1998. Perubahan status lembaga ini, dari independen menjadi di bawah presiden dalam pemerintahan Joko Widodo, membuat harapan publik memberantas penyakit kronis Indonesia makin tambah buyar. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari KPK.
[Editorial Koran TEMPO, Rabu, 21 Juni 2023]