Perbedaan 'Idul Fitri dan 'Idul Adha bukan hal ideal

Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara

BACA SAMPAI HABIS...

Yang mengikuti "ru'yah global", "keputusan amir Makkah", atau "hisab falaki", 'Idul Adha 1444 hari Rabu.

Sedangkan yang mengikuti "ru'yah lokal" atau "keputusan 'ulil amri' Indonesia", 'Idul Adha 1444 hari Kamis.

Saya pribadi, berulang kali menyatakan perbedaan penetapan 'idul fitri dan 'idul adha itu bukan hal ideal, baik untuk seluruh dunia, apalagi untuk satu negara yang sama. Ia juga tidak sama dengan ikhtilaf ulama yang memang dari 'sono'-nya sudah meniscayakan perbedaan.

Dari sisi fiqih penentuan awal bulan Syawwal maupun Dzulhijjah, terbuka kemungkinan ada ikhtilaf di kalangan ulama. Tapi poinnya bukan ini. Karena ini menyangkut syiar agama, sebenarnya tidak ideal terjadi perbedaan dalam putusan (dalam putusan, bukan dalam pendapat fiqihnya) penentuan hari 'id.

Karena itu misalnya, Dr. Yusuf Al-Qaradhawi yang mendukung hisab, tetap mengingatkan bahwa selayaknya 'id itu berbarengan, mengikuti keputusan pihak yang berwenang, mau pakai 'madzhab' apapun keputusan dari pihak yang berwenang tersebut.

***

Namun saat kita berinteraksi dengan realita, kadang kondisi ideal tersebut tidak bisa diwujudkan. Bahkan mewujudkannya, kadang malah melahirkan mafsadat yang lebih besar dibandingkan maslahatnya. Yang menurut para ulama, hal seperti ini perlu dihindari.

Di Indonesia, pemerintah RI yang bertindak sebagai ulil amri menurut sebagian kalangan, memberikan kebebasan untuk menentukan hari 'id yang berbeda dengan itsbat dari pemerintah. Jadi, dari satu sisi, berbeda dengan keputusan pemerintah dalam hal ini, tidak dianggap menentang putusan pemerintah atau tidak taat ulil amri, karena mereka sendiri yang telah mengizinkannya.

Belum lagi, bagi sebagian kalangan, pemerintah RI ini belum memenuhi syarat kelayakan sebagai ulil amri, yang keputusannya wajib ditaati selama bukan maksiat.

Pada kondisi semacam ini, kita yang bukan siapa-siapa, tidak punya wewenang apa-apa, tidak bisa mengambil alih posisi pemerintah, untuk memaksa setiap muslim Indonesia mengikuti keputusan mereka. Yang punya wewenang saja mengizinkan, mengapa anda yang tidak punya wewenang malah memaksa?

Dan untuk kalangan akar rumput, dijalankannya ibadah dan syiar ini dalam kondisi tenang, tanpa keributan yang tidak perlu, jauh lebih baik, daripada memaksa mereka untuk mengikuti satu keputusan saja. Lagi-lagi, yang memaksa dan dipaksa, sama-sama tidak punya wewenang.

Kita tentu tidak mau, syiar agama dan hari raya kita, yang harusnya diisi dengan membesarkan Allah ta'ala dan kegembiraan, malah dihabiskan dengan saling hujat dan saling hina sesama muslim. Apa ini tujuan orang-orang yang 'maksa' tersebut? Yang diinginkan, persatuan atau keributan?

***

Saya pribadi, menginginkan syiar hari raya umat Islam ini, disatukan untuk satu dunia, agar kebesaran dan keagungannya semakin tampak. Namun hal itu perlu waktu untuk diwujudkan. Saat ini belum bisa.

Terwujudnya satu pemimpin untuk seluruh umat Islam sedunia? Faktanya, masih jauh.

Pakai kalender global yang diterapkan secara internasional? Ini juga butuh dukungan politik, dan tampaknya juga belum bisa dalam waktu dekat.

Kesepakatan seluruh pemimpin muslim yang ada saat ini untuk menyamakan hari 'id? Entah, apakah ada langkah yang serius ke arah sana.

Jadi, kita jalani saja dulu apa yang ada saat ini, tanpa ribut dan tanpa saling hujat. Persatuan model ini, jauh lebih relevan dan realistis untuk diwujudkan saat ini. Juga lebih mampu menjaga terwujudnya maslahat dan terhindarnya mafsadat, sebagaimana yang dituntut oleh syariat.

(19/6/2023)

Baca juga :